Guru. Ya, memang satu kata yang sudah umum, walau dibalik kemisteriusannya yang kompleks. Dari The first teacher ‘ Aristoteles’, the second techer ‘Al-Farabi’, sampai zamannya Oemar bakri “ontel” lalu zamannya Oemar Bakrie ‘laptop’. Sudah begitu jelas, nasib mereka tidak sepantas apa yang mereka kerjakan. Bayangkan saja, tentu anda tahu si Michael Faraday. Dia sangat terkenal dalam ilmu kimia dan fisika, sesosok jenius yang mempopulerkan istillah elektrode, anode dan katode. Tapi hidup di dalam atap sebuah kandang kuda di kota London. Guru, sebutannya memang benar sang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, sudah sepantasnyalah tanda jasa itu untuk dihargai dan dihormati. Walau “tanda” itu tidak terpasang di seragam mereka.
Penulis kali ini bermaksud menanggapi opininya Pak Drs. H. Ahdiat Gazali Rahman, SH. MH. Jadi sengaja judulnya dimirip-miripkan ( karena memamg inspirasinya dari situ). Bukan suatu masalah kan Pak? Tapi kali ini penulis membahasnya dengan cara yang berbeda dan yang pasti berbeda dari substansi sudut pusat pandangannya. Bukankah perbedaan itu yang membuat indah dunia ? Bayangkan kalau di dunia ini semuanya berprofesi sebagai guru fisika. Sehingga sangat sulit untuk guru saling berbagi ilmu, karena semua sudah tahu tentang keindahan fisika tersebut. Lambat laun, karena memang tak bisa mengajar sedangkan bahan ajar sudah banyak memenuhi otak. Maka, sesuai konsep-konsep dasar ilmu alam, otak tersebut akan menurun efektivitasnya dalam berpikir. Belum lagi masalah gengsi dan iri dengki yang akan mengalami eskalasi jika semuanya guru.
Guru, bukan suatu profesi yang biasa saja. Tugasnya sebenarnya tidak hanya seputar transfer ilmu dan pengetahuan. Diteliti lebih dalam, guru lah yang sebenarnya membentuk sifat basic psiko-emosional seorang anak. Khususnya guru-guru di TK dan SD. Di sini para murid mengetahui teori-teori maupun banyak postulat yang mendukung untuk pemahaman ilmu di jenjang selanjutnya, maupun mendukung kematangan emosionalnya. Kita pun tahu, di sinilah fase terpenting dalam membentuk perspektif anak. Namun dalam realitanya, malah guru-guru di fase ini merupakan guru-guru yang bisa dikatakan sebagai guru “kelas dua”. Maaf kalau ada yang tidak setuju.
Meneliti lebih lanjut judul dari opini Pak Ahdiat yaitu “ Menghargai Profesional Guru”. Memang tepat kata “menghargai” itu, karena masih ada nilai maupun tingkatan dalam proses menghargainya. Apakah menghargainya dengan sesuatu yang baik? Atau dengan sesuatu yang kontradiktif? Tepat lah pula ungkapan seorang filsuf ( Aristoteles), adil tidak selalu berarti semua harus mendapatkan sesuatu yang sama. Namun, adil berarti memperoleh hasil sesuai kewajiban dan haknya ’komutatif’. Menghargai profesional guru dalam hemat penulis sama makna dengan memberikan apresiasi yang sesuai kepada guru terhadap tingkatan kualitas kepengajarannya. Mungkin bahasanya cukup rumit, namun jika disederhanakan lagi. Maka bermakna, menghargai guru sesuai kualitasnya.
Mengapa harus dihargai? Bukannya harus, tapi “wajib” dihargai. “ bukanlah termasuk dalam umatku orang yang tidak menghormati golongan yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda serta mengetahui (hak-hak) orang alim.” ( H.R Ahmad). Penulis rasa hadits tadi sudah bisa membuka paradigma awal tentang urgensi menghargai profesionalitas guru. Yang salah satunya tentang keluarbiasaan dampak yang dihasilkan oleh guru lewat ilmu dan pengetahuan yang ditransfernya kepada para siswa. Analoginya, seperti sistem bisnis MLM. Yang bertindak sebagai upline adalah guru, serta para downline adalah para murid. Jika guru tersebut menjelaskan suatu bab yang dijelaskannya dengan benar, tentu bab tersebut nantinya akan diberitahukan sang murid kepada orang lain yang belum mengetahui. Sehingga terjadi “aliran kecerdasan yang kontinu.” Beda saat guru tersebut menjelaskan suatu bab. Namun karena adanya kekurangan persiapan, sehingga penjelasannya tidak sesuai bahkan bertentangan dengan konsep. Maka, murid yang seperti gelas kosong itu, karena belum tahu, menerima saja apa adanya. Sehingga ketika ada seseorang yang tidak tahu bertanya kepada si murid tentang bab tadi. Tentu pula akan terjadi “aliran pembodohan yang kontinu.”
Selain hal di atas. Penghargaan juga merupakan fitrah manusia. Yang mana secara psikilogi, penghargaan tersebut bersifat seperti doping dalam keolahragaan. Ketika diberi, otomatis semangat untuk mengajar meningkat. Namun, ketika terjadi overdosis penghargaan. Malah membuat sang guru terlalu terbuai, yang akhirnya melahirkan sifat bangga diri. Ujung-ujungnya, guru tersebut jadi gengsi untuk melakukan hal-hal kepengajaran yang kecil dan akhirnya menurun kualitasnya. Jadi, penghargaan penting bagi guru tapi akan berdampak negatif jika berlebihan.
Terus apa penghargaan yang pas buat para guru? Mengenai penghargaan yang pas, tentu sangat relatif. Untuk itu, kita harus memahami dulu kualitas dan pengorbanan guru yang akan kita beri penghargaan. Dalam bahasan kali ini, penghargaan tidak mutlak mendapat piagam, piala atau sertifikat. Dalam hemat penulis, penghargaannya bisa berupa materi, kebijakan pemerintah untuk guru, maupun hal lain yang sifatnya memberi pengakuan atau menghormati keprofesionalan guru. Secara umum, penghargaan yang tepat untuk saat ini bagi guru dalam hemat penulis antara lain:
Penetapan Gaji Guru yang Terencana
Penghargaan yang satu ini penulis rasa merupakan suatu yang sangat urgen, karena dampaknya mampu mempengaruhi segala aspek dari guru tersebut. Contohnya, adanya perbedaan semangat mengajar ketika dalam bulan yang “muda” dan “tua”, mampu melahirkan sifat kewirausahaan yang tidak baik saat merasa gaji yang ditetapkan sangat kurang dan ada peluang untung mengeruk keuntungan dari para murid, dan lain-lain. Menurut UU No 14 th 2005, Bab II pasal 14 ayat 1 bagian A” Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.” Pasal yang satu ini sebenarnya sudah sangat baik dan apabila direalisasikan dengan di zaman yang tepat akan membuat para guru sejahtera lahir-batin. Namun, sekarang sepertinya pemerintah “Cuma” salah tafsir terhadap pasal ini. Dengan tidak menekankan pada “jaminan kesejahteraan guru” malah mengutamakan “menempelnya” penghasilan guru di atas kebutuhan hidup minimum. Penulis mengatakan “menempel” karena pada realita yang ada, kehidupan ekonomi guru bisa dimasukkan kedalam klasifikasi menengah kebawah. Yakni suatu keadaan di mana status guru nyaris berada tepat di garis kemiskinan.
hal lain yang dirasa cukup lucu oleh penulis yakni ketika terjadi kenaikan gaji guru. Seakan-akan mencerminkan kalau penetapan gaji guru tidak terencana dengan matang. Sehingga kadang kenaikkan tersebut tidak berpengaruh apa-apa terhadap perbaikan kesejahteraan sosial guru. Hal lucu tersebut,” ketika terjadi kenaikan gaji guru, pemerintah dengan bangga mengumumkannya pada public.” Padahal, ketika hal itu diumumkan. Para pelaku pasar maupun entrepreneur dengan leluasa menaikan harga barang dengan alasan naiknya gaji guru. Sehingga, ketika dua hal yang berbeda itu sama-sama naik menuju ke suatu titik. Kenaikkannya itu tidak berarti apa-apa, karena dalam perubahan itu ada yang “tetap” (sesuai hukum relativitas fisika). Jadi, buat apa kenaikan gaji diumumkan dengan besar-besaran? Selain yang tadi, coba saja kalau kenaikan gaji itu masih dalam rencana. Tentu yang mengumumkan akan dicap sebagai “pendusta abadi” yang tak akan dipercaya lagi oleh para guru, bahkan mungkin semangat guru untuk mengajar jadi sirna karena pengumuman yang kepagian dan salah. Betapa bahagianya guru, ketika kenaikan itu tidak usah diumumkan. Selain harga barang yang relatif tidak akan naik. Juga senang karena suatu kejutan kalau gajimya lebih besar daripada yang kemarin-kemarin.
Pengakuan dari Masyarakat
Diperhatikan atau tidak. Dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Kota Bertakwa ini. Guru dipandang dimasyarakat dengan sebelah mata, apalagi guru-guru disiplin ilmu alam seperti fisika, kimia dan biologi. Seakan-akan mengatakan kalau ilmu dari tersebut “tidak bermanfaat.” Penulis rasa, hal itu disebabkan masih “terlalu” kentalnya rasa religuitas yang “dogmatif” dalam masyarakat. Padahal, ketika fisika, kimia dan biologi dapat dirasa keberadaannya di sekitar kita. Ilmu tersebut akan membuat masyarakat kita yang notabenenya muslim akan semakin paham dengan komprehensif terhadap islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Karena fiqih dan ushul fiqih ada juga tinjauannya terhadap fisika-kimia-biologi.
Memang benar imam Ghazali dalam kitab Ihya-nya mengatakan ilmu yang subtansial dalam diri seorang muslim adalah Tasawuf, Tafsir dan Fiqih. Hal itu pula diyakini oleh penulis sangat penting dalam menempuh kehidupan di dunia ini agar mendapatkan kehidupan abadi yang berbahagia. Namun, tentu akan lebih indah kalau dalam masyarakat ilmu-ilmu agama dan umum tidak dipisahkan ( sekuler). Dalam hal ini penulis tidak menekankan bahwa kita “harus ahli dalam ilmu agama dan umum”, tapi menekankan kalau “ yang ahli ilmu agama minimal tahu terhadap ilmu umum” dan “yang ahli ilmu umum minimal tahu terhadap ilmu agama”. Sehingga bila terjadi sinergisitas ini, masyarakat akan semakin paham kalau ilmu agama akan kaku tanpa adanya ilmu umum dan ilmu umum akan buta tanpa adanya ilmu agama. Dari sinilah akan muncul pemahaman, bahwa tidak ada ilmu yang boleh dianak tirikan. Ilmu di sini punya pengertian ilmu yang mendatangkan kebaikan yang mutlak, bukan ilmu-ilmu yang tidak baik seperti santet, hacker dll. Kalau ilmu itu, harus dianak tirikan, kalau bisa dibuang saja ke “matahari”.
Penghormatan dari Murid
Kalau dua poin di atas tadi dari sudut pandang umum. Sekarang dari internal sekolah. Hal ini memang sepele, namun semakin zaman semakin dirasa penyimpangan yang terjadi. Guru bukan lagi dihormati, malah di jadikan bahan ejekan atau topik gosip yang paling hangat. Tak jarang pula, setiap guru diberi julukan yang tidak pantas. Seperti si gendut, si botak, dan lain-lain yang pokoknya tidak baik. Guru yang tidak tahu mungkin “senyum-senyum” saja ketika ditertawai oleh para murid. Tapi, yang tahu. Tidak bisa dibayangkan betapa marahnya beliau. Mungkin hal itu yang menyebabkan semakin meningkatnya angka pengangguran dan jumlah ketidaklulusan dalam UAN. Karena ketika guru marah terhadap murid karena kenakalan murid yang disengaja, Allah SWT akan mencabut keberkahan ilmu dari murid tersebut.
Idealnya, murid harus hormat dan sayang terhadap murid. ada kan ungkapan kalau “ guru adalah orang tua kedua”? tentu saja hormat dengan ikhlas, bukan hormat cuma pengen dapat nilai saja. Guru yang dihormati pun, sebaiknya menanggapi penghormatan dari murid dengan baik. Bukankah tidak baik bagi guru yang tidak mengucapkan terimakasih ketika menyuruh muridnya ? atau apakah baik guru yang “terlalu” menjaga wibawa? Ketika pemahaman antara yang menghormati dan dihormati tepat mengenai fitrah manusia , tentu akan ada jalin hati di antara keduanya. Sehingga proses transfer ilmu menjadi lancar dan ilmunya pun penuh dengan berkah.
Itu lah pentingnya menghargai keprofesionalan guru. Selain sebagai media eskalasi kualitas pendidikan, juga sebagai salah satu tangga menuju kesejahteraan sosial. Kita bukan negara proletariat, sehingga “pemerataan” kesejahteraan bukan sebagai tujuan. Bukan pula negara liberal, yang siapa kuat dia sejahtera.Tapi kesejahteraan yang sesuai “kewajiban” dan “hak” lah yang akan dituju. Semangat wahai guru yang terhormat!!! Jasamu takkan pernah sirna walau tanda jasa mu dirampok “mereka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar