Minggu, 31 Juli 2011

Perusahaan ketiga,barakallah...



Semoga diberkahi Allah, fokus pada perusahaan kali ini adalah manajemen event-orgganizer dan regulasi marketing buku se-Indonesia.

mencoba terus berkarya dan menginspirasi lewat bisnis,yaah walau pun kata orang mahasiswa kedokteran itu sibuk banget. sibuk sih, tapi kegiatan lain bisa dijadwalkan... tujuan utama bisa mandiri dan ga nerima gaji buta dari orang tua yang sebenarnya sudah saaaangat cukup (bahkan bisa dibilang berlebihan :) )

setelah pernah menggawangi BakoelCafe dan Ideospirit Organizer...:) kali ini menggarap lahan baru...

penasaran siapa tah bisa kerjasama, silahkan add facebook kami di pustakaavicenna@yahoo.com dan untuk layanan konsumen ada avicenna_management@yahoo.com

draft semnas KSIA

Tema: Membangun Sistem Kesehatan Ideal,Sistem Kesehatan Islami

sambutan ; dr.Siti Wasilah,M.Sc.Med
; dekan--> dr.Hasyim Fachir,Sp.S

pembukaan; Rektor UNLAM

materi

1. Fakta dan Potensi Sistem Kesehatan Kal-Sel
- Kepala Dinas Kesehatan Prov. Kal-Sel
2. keadaan paramedis kalsel
- ketua umum IDI Kal-Sel
3. Potret sistem kesehatan indonesia sekarang dan kodisi idealnya
- DR.dr.Siti Fadilah Supari,Sp.JP (eks menkes)
4. Sistem kesehatan islam
- ketua umum BSMI pusat

moderator; dr.Iwan Aflanie,Sp.F... pembina KSIA dan ketua umum BSMI Kal-Sel
mc ; dr.Fauzan Muttaqien

to all koor,tolong beri masukan :)

Senin, 25 Juli 2011

Ikhwan Bijak,Akhwat Pengertian

Bismillah..:)

Walau sulit untuk diterima, selalu saja perbedaan gender memberikan aksi dan reaksi yang berbeda terhadap sesuatu. Terkait lembaga dakwah yang kita sayangi ini, KSI Asy-syifa,tentunya hal itu juga cukup berpengaruh. Ngebahas Ikhwan dan akhwat,penting ga sih?Oke lah,mengapa hal ini saya rasa menjadi topik yang cukup hangat untuk saya angkat. Sebenarnya akan ada beberapa alasan logis,tentunya ketika kita memandang KSIA bukan sebagai sebuah sistem organisasi yang sekuler dan bukan bula bersistem yang perusahaan sentris sehingga kering nilai-nilai ruhiyah. Semoga ini bisa menjawab beberapa kendala,seperti “ karena ingin menjaga hijab, eh, ikhwan dan akhwat tidak pernah melakukan pola hubungan kerjasama dakwah yang efektif. Sehingga ikhwan dan akhwat dalam satu departement pun terasa berjalan sendiri dan “ hah? Dia satu departement ya dengan ana”. Ikhwan nya diam, nah akhwatnya bingung. Akhwat nya ceplas-ceplos, eh ikhwan nya pergi. Dalam sebuah syuro pun, kadang terkesan ikhwan syuro sendiri akhwat syuro sendiri. Belum lagi, kendala akhwat yang tiba-tiba ngambek dan ikhwan yang tiba-tiba jengkel. Masalah “sepele”,yang ternyata berdampak sistemik”. Saya serius bung.
Sebenarnya dalam hal ini sangat banyak teori, bahkan saya mengatakan tidak ada teori yang terbaik. Yang ada hanya teori yang tepat. Karena hal ini terkait seni, ya seni dalam memanajemen interaksi dan mengatur pola hubungan,agar tidak terjadi dua sisi ekstrim (terlalu kenal dan tidak kenal sama sekali). Lagi-lagi,ini adalah seni. Yakni perpaduan antara ilmu, pengalaman lapangan,intuisi,rasio dan instink. Mengapa tidak rasio saja ? Karena dalam beberapa hal kita perlu menyentuh rekan dakwah kita dengan “hati”. Atau menyentuh mereka dengan “tindakan”. Ya, walau pun semuanya sebenarnya dikendalikan dengan rasio juga. Bahasa sederhananya, biarkan rasio mengendalikan perasaan kita, agar perasaan kita bisa “beresonansi” dengan perasaan rekan dakwah kita. Sekali lagi, ini seni bung.
Baik di textbook ilmu kedokteran kejiwaan Maramis dan Personality Plus maupun di buku bacaan ringan Men From Mars and Women From Venus,kita akan sedikit belajar tentang sebuah aksi-reaksi sikap,ya sebuah analisa psikologis lah. Bagaimana ikhwan menurut pandangan akhwat, juga akhwat menurut pandangan ikhwan. Semoga dengan sedikit perbincangan hangat ini bisa memberikan pandangan baru tentang seni mengatur pola hubungan dalam organisasi dakwah. Karena ikhwan dan akhwat, juga manusia :)
kita akan berbicara dalam pola umum dulu.
Pada dasarnya, ikhwan adalah jenis manusia yang mengedepankan rasio nya. Itu sangat terlihat dari pola bicara dan sikapnya. Cenderung egois dan lebih suka menyelesaikan semuanya sendiri. Sehingga, kita jarang melihat ikhwan pada “curhat”. Karena ia yakin bisa menyelesaikan masalahnya. Analoginya, ikhwan seperti punya “gua” sendiri dalam hidupnya. Ketika ada masalah ia akan memasuki “gua” itu dan sangat cenderung “benci” ketika diganggu saat itu. Namun,ketika suasana ia rasa sudah cukup membaik,maka ia akan keluar “gua” dengan sendirian. Nah, mungkin ini salah satu penyebabnya klo ikhwan itu cenderung lebih malas daripada akhwat coz mereka banyak mikir ketimbang kerjanya. Kadang klo udah ngomong, kebanyakan “teori” daripada “action”nya. Tapi hati-hati, karena ikhwan lah yang “lebih banyak akalnya” (maksudnya ngakalin orang dan ngeles). Kadang, sangat menyukai hal-hal simple dan sangat membenci sebuah kerumitan. Tingkat “kesensitifan” perasaan ikhwan agak rendah. Sehingga tidak jarang kita melihat sekelompok ikhwan ketawa-ketawa “bercanda kasar (mengolok-olok)” satu sama lain. Namun, tidak ada dendam di antara mereka. Dibilangin “teroris”,”kambing”,”pasukan padang pasir” dan lain-lain, mereka hanya ketawa dan cenderung melupakan. Mungkin tertawa adalah proses melupakan bagi ikhwan, semakin lebar mulutnya maka tingkat evaporasi (penguapan) “ledekan dan masalah” semakin tinggi (hehehe,becanda. Tapi itu faktanya, ikhwan udah biasa “diolokin” satu sama lain. Klo di akhwat gitu,mungkin terjadi “perang dunia 3”).
nah klo akhwat. Yang dominan adalah perasaannya. Jujur, sangat sensitif. Jadi “pemilihan kata” ketika berbicara harus betul-betul diperhatikan. Mungkin mereka tidak akan “bilang” marah, tapi tingkah laku seperti “ngambek dan raut muka yang berubah”, sudah cukup memberikan tanda klo mereka sedang bermasalah dengan anda. Yang parahnya, ketika perasaan sudah mendominasi mereka. Kecenderungannya adalah mereka tidak bisa membedakan ini “masalah organisasi atau pribadi”. Sehingga tidak jarang akhwat “kabur” dari organisasi dakwah karena “sakit hati”,yah semacam barisan sakit hati jadinya. Selain itu, akhwat sangat “tidak sabaran” klo digantung. Maksudnya, akhwat butuh sebuah kepastian, baik dalam kebijakan departement maupun keputusan sebuah proyek/agenda. Jika ikhwan yang cenderung punya “gua”sendiri tadi terlalu lama “bertapa”nya. Tingkat kepercayaan akhwat akan sangat berkurang. Apalagi klo ikhwan yang bersangkutan tadi koordinatornya, padahal akhwat tadi sudah memberikan “kepercayaan” kepada ikhwan untuk memimpinnya. Selain itu, akhwat cenderung sangat senang dilibatkan atau diikutkan. Mungkin ini yang mereka definisikan sebagai “perhatian dalam organisasi”. Mereka merasa “dihargai” ketika juga bisa terlibat dalam sebuah keputusan. Ketika mereka merasa diperhatikan, maka pasti mereka memberikan “perhatian” lebih kepada departement dan lembaga dakwahnya. Ini fakta lho,terlihat akhwat lebih “care” dengan lembaga.

Contoh kasus; pada suatu kepanitiaan. Ternyata masih ada pembahasan syuro yang belum selesai, namun sudah hampir adzan magrib. Sedangkan keputusan sudah harus ada besok pagi. Maka, ketuplak meminta kepada semua ikhwan untuk syuro malamnya, tentunya akhwat ga bisa ikut. Besoknya, syuro lagi ikhwan-akhwat untuk membacakan hasil keputusan syuro tadi malam. Terlihat, raut muka akhwat banyak yang kecewa. Sedangkan ikhwan senyum-senyum saja merasa masalah sudah diselesaikan dengan keputusan final syuro tadi malam.
Catatan
# ikhwan, cenderung menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka punya “gua” sendiri. Sudah terlalu keasyikan dalam masalahnya sendiri. Dan merasa rasionya sudah bisa menyelesaikan masalah. Mungkin koordinasi ke MS aja juga lupa.
#akhwat, sensitif, merasa tidak dihargai keberadaanya. Karena tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan. Tentu “perasaan” sedikit benci sudah mendominasi si akhwat.

Contoh lagi; seorang ketua akhwat dalam suatu departement dapat instruksi oleh mas'ul akhwat. Dalam instruksi tsebut, mengharuskan akhwat berkoordinasi dengan seluruh anggota akhwat. Keputusan sudah harus ada siangnya. Sedangkan sms baru masuk jam 12.00 malam (kondisi;provider bmasalah). Dia sms koordinator ikhwan departement itu,sebagai koordinator tertinggi. Untuk sedikit mendiskusikan masalah tadi. Dia tahu itu tidak ahsan,namun keadaan begitu sangat mendesak. Namun tidak ada tanggapan dari si ikhwan. Dia coba telpon juga tidak ada tanggapan. Mungkin si ikhwan sudah tidur. Dia pending dan lakukan lagi setelah shalat shubuh,hasilnya sama. Si akhwat tidak bisa bergerak dan amanah dari mas'ul akhwat terbengkalai.
Catatan
#ikhwan, mungkin lagi sedang ada masalah. Cenderung untuk masuk “gua” dan fokus pada masalahnya. Sehingga biasanya sangat jengkel klo dihubungi atau diganggu. Kadang lambat terhadap tanggapan pesan coz egoisnya dominan.
#akhwat, sangat jengkel klo digantung. Apalagi berlarut-larut dan didesak keadaan. Maka peluang ngambek nya semakin tinggi. Kesensitifan perasaaan nya kadang betul-betul “sedikit” menutupi pertimbangan rasionya.

Terakhir, terkait pola umum ikhwan-akhwat:
kedua jenis makhluk ini, sangat berbahaya klo anda menunjukan “perhatian” yang cukup mencurigakan. Iya, mereka cenderung mengimajinasikan sesuatu hal positif secara berlebihan. Perhatian anda sebagai koordinator,kemungkinan bisa disalahartikan jika anda menunjukannya dengan sedikit “lebay”,ya walau pun cuma sedikit. Mereka sangat suka diperhatikan. Hati-hati perhatian anda terhadap rekan dakwah. Sama-sama menuntut “kejelasan peran”. Nah ini yang sama-sama kita harus belajar. Tidak ada orang yang senang dalam kondisi serba abu-abu maupun kebingungan,apalagi terkait instruksi kerja. Namun mereka juga tidak suka “diperintah”. Ya,memang pada dasarnya semua orang seperti itu kan .Dan SAYA RASA JUGA SANGAT PERLU KEJELASAN MANA PORSI SIAPA YANG BERPERAN DALAM TATARAN KONSEP STRATEGIS dan KONSEP PRAKTIS.. Jadi,menurut saya betul-betuk perlu sebuah “seni”. Ketika anda memperhatikan rekan kerja dalam dakwah,namun tetap proporsional dan profesional. Memberikan instruksi dengan jelas,namun bukan memerintah.

*Yang sedang belajar dan meramu konsep ideal sebuah Lembaga Dakwah Fakultas (LDF). Wow, ilmu kedokteran kejiwaan (psikiatri) ternyata sangat aplikatif di sini :)

Memposisikan Nasionalisme

Bismillah



kamis,21 juli 2011. sudah lama rasanya ga bikin ulasan ringan sebelum tidur,ah paling tidak saya merasakan kenikmatan indahnya curhat di depan notebook kesayangan saya,notebook yang biasa disebut mama saya sebagai “pacar saya”. Sedikit berbagi kisah,minimal jadi evaluasi saya hari ini.

Sebenarnya moment menarik bagi saya hari ini adalah ketika semua urusan saya di kampus selesai,ya kira-kira pukul 12.00. setelah menyelesaikan sedikit “urusan” akademik dan beberapa “tender” sekaligus memfixkan dengan koor acara BRBC KSI-A hal-hal mendasarnya. Buruan apa yang menarik ? Saya mendapat undangan diskusi terbuka tentang buku yang berjudul “Banalitas Nasionalisme” diisi oleh penulisnya sendiri yakni Pa Mukhtar Sarman, seorang magister sosiologi pedesaan yang memang berkonsentrasi pada ekonomi lokal,itu terbukti dengan berhasilnya beliau dalam short-course masalah pengembangan sumberdaya ekonomi lokal di IHS Rotterdam,Belanda 2005. beliau juga pernah belajar manajemen infrastruktur di Faculty of Civil Engineering University of Miyazaki.

Setelah shalat dzuhur yang niatnya berjamaah namun tidak. Kok gitu ? Itu lah hal yang paling memalukan di langgar (mushalla) kompleks saya. Saya yang adzan,iqomat,imam termasuk makmum. Alias selalu sendiri. Setelah shalat itu saya langsung meluncur ke banjarmasin lagi. Sangat mengasyikkan klo naik motor ke banjarmasin. Yang pasti saya terhindar macet,pastinya bisa tepat waktu-tepat jadwal. Bisa mengebut,memanjakan instink yang suka balapan ini. Walau pun klo ketahuan orang tua pasti dapat “taujih pedas”.hehehe. Anda tahu sendiri lah gimana nasib anak yang paling tua jika melakukan hal berisiko tinggi. Oleh karena itu solusinya adalah “diam-diam ke bjm”. Karena hal-hal di atas,plus juga karena jadwal saya di bjb-bjm cukup padat (maaf,ga bermaksud sok sibuk lho ya,cuma saya selalu yang menyibukkan diri. Bukan dicari orang,tapi saya yang mencari orang. Coz saya gak mau ditagih hutang,tapi menagih hutang.hehhe *becanda)

di jalan saya sedikit melamunkan apa yang terjadi dalam pembahasan buku nanti. Supaya fokus biasanya saya harus berkonsentrasi sedikit melupakan masalah dakwah di KSI,organisasi-organisasi yang saya pegang,problem di bisnis dan tema proposal KTI. Pejam kan mata, tarik nafas panjang dan bismillah... :). oke saya sudah bisa berkonsentrasi.

Yang terbayang oleh saya: pasti diskusinya panas. Banyak mahasiswa hukum-ekonomi-FISIP yang kritis. Hahahay, I Like It. Kosakatanya juga biasa lah. Paling tidak,saya sudah bisa menikmati betapa hangatnya diskusi itu. Membayangkan mencampuradukkan teori dan hipotesis serta logika yang saya punya dengan pakar-pakar yang ada di sana. Sedikit memanipulasi dan merekayasa jalan pikir agar bisa merangsang pikiran-pikiran orang,lalu target saya adalah terjadinya “ejakulasi dini” loncatan gagasan dari seseorang karena sentuhan erotis emosional. *sedikit ke-sastra-an ya.heheh

to de point aja ya..... tiba lah saya pada ruangan diskusi. Lantai 5 gedung djok mentaya (betul gak sih? Saya agak lupa),yang pasti itu gedung banjarmasinpost.

Di luar dugaan saya.

Jreng.... jreng... jreng...

yang mendominasi malah dosen dan pejabat,bahkan hampir semua. Kecuali beberapa anak manusia dari kampus UNLAM, dengan wajah polosnya duduk dan mulai mempetakan konsep berpikir untuk mengkritisi “Balanitas Nasionalisme”

wah,rata-rata sudah lulus S2. Terlihat banyak orang penting di sini. Banyak tokoh yang sudah tak asing di mata saya,dan yang paling saya akrab adalah Pa Sofwat Hadi,seorang anggota DPD untuk Kal-Sel,yang kemarin nyalon jadi walikota banjarmasin,namun “anda belum beruntung,hehe”. Soalnya saya sering “main” ke rumah beliau di jalan gatot,ya sedikit bertukar pikiran arti sebuah pembangunan dan kesejahteraan,walau pun saya agak malu saat itu coz nginap di rumah beliau. Tak ketinggalan ada dua staf beliau,yang biasa saya panggil “kakak”. Padahal sudah agak tua,mungkin lebih pantas dipanggil om atau abang.hehe yah, sempat cipika-cipiki masalah lucu juga dengan mereka.

Langsun ke kontent curhat saya ya.... ini sebuah alur berpikir dari buku tersebut:

“Banalitas Nasionalisme atau kedangkalan dalam memahami isu nasionalisme adalah sebuah realitas politik yang tersembunyi, dan barangkali sengaja disembunyikan,karena ia merupakan sebuah fenomena absurd ketika anggota punya tanggung-jawab moral untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi negara bangsanya, namun artifisial yang berorientasi pada upaya memenuhi kebutuhan pribadinya yang tidak pernah cukup. Banyak contoh banalitas nasionalisme. Celakanya,begitu banyak pula orang yang tidak sadar bahwa dirinya adalah penghamba kedangka;an tersebut. Dan di buku ini,mencoba memetakan banalitas nasionalisme yang relevan dengan kondisi aktual bangsa Indonesia masa kini.”

diskusi kali ini sangat menarik. Oh iya lupa, pembicara tambahan ada Pa Kapolda Kal-sel dan seorang Yusran Pare.

Pa Kapolda lebih menitik beratkan solusi agar banalitas itu bisa diselesaikan,yakni dengan adanya teladan para elit politiknya. Bahkan, beliau sangat menganjurkan dibuatnya tokoh. Supaya nilai abstrak dan relatif (biasa lah ilmu sosial, penuh dengan variasi definitif) bisa dikonkritisasi,jadi masyarakat bisa tahu praktisnya. Tidak seperti sekarang,semua mengaku nasionalis. Padahal kelakuan merusak bangsa. Pa Kapolda juga menekankan bahwa, memakai produk dalam negeri tidak selalu manifestasi dari nasionalisme,jika general defenitif dari nasionalisme adalah “cinta bangsa dan tanah air”. Karena perusahaan-perusahaan “asing” itu kadang ada yang pemiliknya warga indonesia dan pekerjanya pun pribumi. Hal ini karena banyak perusahaan asing itu memakai sistem frenchise atau wara-laba, yang diuruskan cuma pembelian “nama dan sistem”.

Nah.... klo Yusran Pare bahasan dan bahasanya lebih SEKSI. Hal yang disampaikan beliau terkait “Banalitas Nazaruddin dan Nasionalisme Ruyati”. Beliau mengaku sedikit tercekat membaca Banalitas Nasionalisme karya Pak Mukhtar ini. Cukup menyentak kembali kesadaran di tengah keriuhrendahan aneka informasi,namun kita mendengungkan nasionalisme lagi. Beliu mengatakan sudah mual-muntah (hayooo,,,,gejala penyakit apa?) terkait nasionalisme karena elit politik yang seharusnya bisa menjadi teladan malah semakin “terbuka” bobroknya. Dari manuver saling caci, saling bakutusuk, saling ancam bahkan itu dilakukan oleh orang-orang yang dulunya “bersahabat” dalam satu partai dan satu koalisi. Untuk membuat sebuah parameter banalitas tersebut,katanya sangat banyak. Nah,beliau lebih menyoroti pada angka investasi pihak asing. Logika beliau, jika banalitas meningkat manifestasinya adalah meningkatnya angka korupsi. Kalimat beliau “ Yang jelas, terdapat korelasi antara peningkatan korupsi Indonesia dengan menurunnya realisasi investasi asing ke Indonesia. Lahat saja, ketika PERC melaporkan peringkat korupsi Indonesia pada urutan yyang lebih buruk di bawah Vietnam,realisasi penanaman modal asing yang tahun sebelumnya tercatat US$ 15,4 miliar langsung anjlok 41,6% menjadi hanya US$ 9 miliar.”

menarik pernyataan rekan sejawat saya (adityawarman ) saat itu, kontentnya “saya melihat bahwa nasionalisme kita bersifat temporer dan emosional. Yang timbul saat-saat momen tertentu, saat “disenggol” Malaysia atau saat pertandingan sepak bola. Semua teriak “garuda di dadaku” dan lain-lain. Tentu -isme seperti tiu tidak bisa membuat sebuah perbaikan dan kemajuan bangsa.... *panjang lagi sebenarnya

statement menarik dari sang moderator” bagaimana dengan nasib Gonzales yang mengalami nasionalisasi.dia bukan asli indonesia, tapi meneriakkan garuda di dadaku? Relevan kan dengan Banalitas nasionalisme....

ada juga daripihak lain terkait; hubungan nasionalisme dengan pluralisme, memposisikan kapitalisme, romantisme histori yang dibalut nasionalisme.... wah pokoknya asik deh, bisa sedikit mengasah nalar...

yang saya sayangkan saya belum sempat ngomong. Udah angkat tangan tinggi-tinggi,tetap aja ga dapat kesempata.... mungkin kami memperkenalkan diri dari kedokteran sih, mungkin moderator takut nantinya logika berpikir kami tidak relevan dengan kontekstualitas nasinalisme yang mereka bahas,yang memang pada notabenenya berbasis pada ekonomi-hukum-ilmu sosial. Nah,di sini saya membuktikan arti sebuah relativitas. Gak selamanya mahasiswa kedokteran itu membanggakan. Mungkin moderator cuma memahami bahwa mahasiswa kedokteran itu kerjaannya cuma “melihat bakteri loncat-loncat, nyuntik, bermain dengan mayat dan kerjaannya motong daging”wkwkwkwk

yang pengen saya sampaikan sebenarnya cukup substansiil...

“ menanggapi statement anda,pa Mukhtar. Kerusakan dan kebobrokan sekarang diakibatkan oleh balanitas nasionalisme. Yang dalam definisi anda adalah kedangkalan dalam memahami substansi nasionalisme. Walau pun anda mengakui sendiri bahwa nasionalisme itu terlalu abstrak dan relativitasnya tinggi. Nah,jika kita melihat nasionalisme sebagai ideologi (walaupun agak sulit menggunakan statement ini,terkait apakah tepat nasionalisme sebagai ideologi definitif). Sebagai seorang yang berlogika dominan eksakta dan empiris. Maka saya membagi tataran praktis nasionalisme menjadi : ajaran nasionalisme,tokoh dan efeknya. Semua ideologi,tanpa terkecuali, saya yakin mempunyai efek atau tujuan yang baik, pasti menginginkan kesejahteraan dan kemakmuar (ya tentu dengan definisi ideologinya masing-masing). Lalu tokohnya, tentunya di tokoh yang hebat dan kuat,apapun ideologinya akan menciptakan tujuan ideologi yang ideal pula. Hal itu terlihat pada fakta sejarah, sosialisme-komunisme pernah jaya,kapitalisme-demokratis juga jaya, ideologi islam pun pernah jaya. Lalu saya akan “membahas” substansi ajaran -isme nya. Tentu kita menyadari,secara ekonomi definitif, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kepentingan. Semua orang,pasti itu. Tentunya juga berpengaruh terhadap ideologi yang dia ambil. Tentunya,ideologi yang dia ambil adalah ideologi yang memenuhi kepentingannya,sehingga dia definisikan sebagai ideologi yang penting. Terlepas nantinya apakah ideologi itu mensejahterakan dia atau belum. Karena kita bicara netral (*kondisi yang tidak adil,menurut saya dalam hati). Ambil contoh ideologi teokratif (yang bersumber pada ajaran agama). Jika seseorang berpolitik-ekonomi-hukum-ilmu sosial sesuai ajaran itu,mereka akan mendapatkan pahala. Tidak peduli nanti bisa sejahtera atau tidak (tentunya semua ideologi bertujuan sejahtera),tentunya dengan pahala akan diganjar syurga. Itu sebuah “daya tarik” ideologi teokratif,sehingga peluang munculnya Balanitas sangat minim. Lalu saya akan melogikakan dengan Nasionalisme ? Jika ideologi itu diterapkan,apa yang pengembannya dapat ? Jika konteksnya indonesia, nasionalisme bisa ngasih apa? Tujuan nya untuk sejahtera saya tidak tercapai ? Tokoh-tokohnya mana ? (sebenarnya saya ingin mengganti istilah ideologi teokratif dengan ideologi islam pada diskusi ini,namun supaya “mereka” tidak berpikir macam-macam dengan saya. Ya saya cukup menggunakan istilah “smooth” itu)”

hahahay... saya pikir anda sudah bisa menerka apa pola pikir saya beberapa paragraf ke depan. Ya, sedikit cipika-cipiki antara nasionalisme dan islamisme. Logika awal, pahamilah nasionalisme dalam konteks islamisme. Artinya islmisme di atas nasionalisme, dan islamisme lah yang memberi definisi serta arahan (memang seperti itu seharusnya, dalam kaidah hukum Indonesia sendiri bahwa hukum yang lebih tinggi akan mengatur pola penjelasan hukum di bawahnya,bukan kah islmisme merupakan manifestasi hukum Yang MahaTinggi). Jangan sebaliknya ya, seperti Siti MM,seorang aktivis JIL. Terkait islam yang harus menyesuaikan dengan UUD45 dan pancasila, sehingga atas nama ke-bhineka-an dia “menghalalkan” homoseksual dan pornoaksi (*semoga cepat tobat bu)

selanjutnya, islam memerintahkan untuk memakmurkan tanah air kita dan membuatnya sejahtera. Cinta kepada tanah air pun bukan hal yang salah,bahkan dianjurkan, lalu adanya dalil seberapa pentingnya kita membela tanah air jika tanah air kita dijajah. Lalu,mungkin kebanyakan orang berpendapat bahwa islam hanya merenggut dan menodai nasionalisme. Bahkan katanya,islam mengharamkan nasionalisme ??? betul begitu??? lalu nasionalisme apa yang diharamkan islam yang rahmatn lil 'alamien ini??? jangan buru-buru menyimpulkan saudaraku.

(wah bahasan agak berat nih,jadi mesti hati-hati. Saya coba dengan bahasa paling sederhana yang saya bisa). Pada dasarnya islam sangat menganjurkan cinta kepada tanah air. Islam begitu mendorong agar terbentuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Yang islam takutkan, ketika kecintaan kepada bangsa itu berlebihan sehingga melupakan kecintaannya kepada islam. Manifestasinya seperti percekcokan antar bangsa padahal sama-sama muslim, adanya negara muslim satu yang “sangat”mapan sedang di sisi lain ada yang “sangat” miskin,egoisitas bangsa yang berlebihan, hanya memikirkan bangsanya dan tidak mau berbagi antar bangsa muslim. Sehingga, islam cukup menghindari yang namanya nasionalisme. Sekali lagi,tak ada masalah dengan mencintai bangsa. Bermasalahnya dengan nasionalisme,karena nasionalisme identik dengan “kecintaan buta', yang katanya gara-gara cinta “tahi kucing” pun rasa “MAGNUM ice cream”. Islam menginginkan kemajuan dan kesejahteraan sebuah peradaban, bukan hanya sebuah bangsa. Ini lah, rahmatan lil 'ALAMiin. Betul-betul untuk sekalian alam. Tentunya bahasan ini sangat tergantung dengan definidi nasionalisme,celakanya dafinisi itu yang sangat bervariasi. Saya rasa anda lebih paham. Betul begitu?



Dua agenda saya setelahnya; konsul perkembangan dakwah dan KSIA ke tempat dr. Siti Wasilah, lalu ada sedikit transaksi bisnis dengan kolega saya di ZeenStudio.... selesai

***



saya rasa cukup ya, saya juga sudah ngantuk seharian penuh dengan jadwal. Ta gak apa lah, kata Imam Ahmad istirahatnya seorang muslim itu ketika kakinya menginjakkan syurga.membahas ini, Saya teringat masa-masa krusial saya di kelas 3 SMA. Waktu itu,Bapak saya menganjurkan saya masuk Fakultas Ekonomi dan Ibu saya menganjurkan ke Fakultas Hukum. Bapak saya rekomendasikan ke UI dan Ibu ke UNDIP. Saat itu argumentasi merela cukup kuat, keputusannya saya hanya mendaftar SIMAK UI dan tak ada yang lain. Bapak saya selalu bilang, untuk merubah hal yang besar seperi bangsa dan dunia, ilmu yang diperlukan adalah Ekonomi-Hukum-Politik. Cukup itu katanya yakin. Dengan itu kita bisa mengatur “anak-anak IPA”. Hari ini seakan-akan saya membuktikan ucapan itu lagi. Namun saya sadar,saya beruntung masuk kedokteran (gara-gara pilihan SNMPTN),yang notebenenya adalah hasil perkawinan antara ilmu sosial-ilmu pengetahuan alam. Kedokteran adalah sebuah seni. Saat filsafat metafisik kawin dengan logika rasional empiris. Ambil contoh dalam farmakologi, dalam textbook kita hanya mengenal farmakokinetik dan farmakodinamik, yang merupakan bahasan komplek sebuah sistem biokimia,patofisiologi dan fisiologi. Namun sebenarnya kita juga mengenal (kalau saya boleh membuat istilah), farmakoekonomi dan farmakososial, terkait pemilihan obat bergantung keadaan-keadaan ekonomi dan sosial.... wahhhh jadi panjang lagi nih. Cukup aja deh. Biasa klo orang insomnia curhat, malam kayak jadi siang euy...



terakhir, 3 buku yang cukup mempengaruhi tulisan saya kali ini:

1. Banalitas Nasionalisme;Sebuah Renungan Untuk Indonesia

2. The Making of Religion

3. Politik Partai;Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam

karya-karya Agus Mustafa saya rasa cukup empuk untuk disantap juga :) :) :)



INI CERITAKU, MANA CERITAMU?



* dari seseorang yang sangat berharap bisa tidur cepat dan ingin anda tidak menjadi “Kuli-Kuli berjas putih atau Buruh-buruh berdasi”, besarkan jiwa anda :)

Selasa, 19 Juli 2011

post-modern movement

Bismillahirrahmanirrahim...

pergerakan mahasiswa adalah salah satu pergerakan paling dinamis yang pernah ada. Kalau diamati lebih jeli, bahkan pola umum pergerakan pun kadang berbeda baik saat orde lama,orde baru, masa reformasi sampai zaman “ketidakberesan penguasa” saat ini. Mulai dari dasar motivasi yang berbeda,metode yang bervariasi sampai tujuan akhir pergerakan yang kadang berubah total. Namun tak perlu terlalu dalam menyesali yang sudah terjadi,bukan kah masih ada hari esok. Kesalah kemarin cukup menjadi referensi untuk melangkah ke depan.

Sebagai kelompok yang juga berkecimpung dalam “Gurita” kampus. Kita tentunya juga paham bahwa dinamisitas yang tinggi tersebut bukan lah suatu hal yang mengaburkan kita untuk sedikit mengambil benang merah. Paling tidak menarik sedikit hipotesis sementara,apa dasar mereka terus bergerak pada saat itu. Tentu jawaban retorisnya : kondisi saat itu tidak ideal.

Ke arah mana mereka melakukan gerak perubahan ? Ya,tentunya ke arah kondisi ideal. Paling tidak kondisi kampus yang ideal. Dan itu lah skala terkecil lingkungan yang bisa dirubah saat menjadi mahasiswa. Tentunya juga,merubah diri sendiri adalah hal wajib yang pertama.

Kalau dipikir-pikir lebih dalam,tentunya untuk menjadikan kampus sebagai lingkungan yang ideal,tentunya perlu sistem dan aturan yang ideal. Suatu hal yang aksiomatik bahwa aturan yang ideal adalah aturan yang dibikin oleh MahaSempurna. Gak ada yang bisa menyanggah. Aturan dari yang MahaSempurna, sudah di tuliskan lagi dalam Al-Qur'an dan As-sunnah. Masih kurang bisa memahami ? Ada syarah dan tafsir nya pula. Ga bisa baca ? Ada 'ulama tempat kita bertanya. Malu kalau nanya sama ulama ? Pake hp donk... :)

sehingga kesimpulan pengantar di atas adalah kampus ideal=kampus islami. Islami ketika aturan-aturan Sang Maha Sempurna diamalkan kaffah. Lalu muncullah kampus yang prestatif,produktif,inovatif dan kontributif. Yang di dalamnya penuh dengan mahasiswa yang mengamalkan tridhrarma perguruan tinggi,serta punya penalatan ilmiah yang berbobot. Itu lah kampus islami, itu lah mahasiswa islami.

Ini sedikit sambutan saya terkait “kampus Islami” pada buletin ekslusif KSI-A untuk mahasiswa baru. “Kampus adalah sebuah system. Yang mana system tersebut sangat menentukan anda masuk bagaimana dan keluarnya seperti apa. Kampus yang ideal mirip seperti tungku api dalam pembuatan pedang. Pedang yang tidak rata bisa dimasukkan ke sana,sesudah panas lalu dibentuk hingga rata. Yang sudah rata pun,bisa dimasukkan ke sana lalu dipoles hingga menjadi lebih tajam. Itu lah sebuah kampus yang ideal,yakni system yang ideal. System yang mampu “memproses” semua yang masuk ke dalam menjadi “lebih baik” dari sebelumnya.”

Konsep sederhana kok belum ada implementasinya?

Iya. Kita sudah dalam zona yang sangat tidak nyaman,yang tentunya membuat kepala panas dan ingin melakukan perubahan. Contohnya: nyontek pas ujian,pornoaksi, mahasiswa kunang-kunang (kuliah nangkring-kuliah nangkring),pacaran, “XXX” di balik pacarannya itu,narkoba,judi dan lain-lain. Kita pun tahu apa kondisi idealnya,yakni kampus islami. Yang menjadi perbincangan hangat kita kali ini adalah “jalan” menuju kondisi ideal tersebut. Kita akan sedikit berbincang tentang peran potensial KSI-A (kelompok Studi Islam Asy-syifa),tentunya karena posisinya sebagai LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) yang resmi dan punya bargaining position yang cukup berpengaruh terhadap massa kampus.

Jadi,yang akan kita bahas terkait: KSI-A,pergerakan,kampus islami dan “jalan” menuju kondisi ideal.


Karena saya cukup lama (termasuk sampai saat ini) berkecimpung dalam dunia marketing,maka proses kita meng-islam-kan kampus,yang tentunya berarti meng-islam-kan mahasiswanya. Saya analogikan sebagai proses kita “memasarkan” islam kepada seluruh civitas akademika. Hingga terbentuk kesadaran berislam yang masif, sekaligus juga berjalan proses “insert” syariat islam (konteks legislasi) dalam segala aspek.


Hal-hal fundamental yang akan kita perbincangkan tentang marketing islam:
1. kontent, tentunya produk yang kita pasarkan adalah produk yang sempurna;islam
2. sasaran/segmen objek dakwah,seluruh masyarakat kampus. Dari dosen, mahasiswa,birokrat kampus,cleaning service,paman kantin sampai tukang parkir
3. pengemasan/packing sampai branding dari produk
4. pemasaran/promotion
5. closing/transaksi

sementara sampai sini aja ya perbincangan hangat kita. Nanti kita bahas lebih detail “konsep marketing dan 5 hal fundamental di atas”... tunggu ya...:)

dari seseorang yang memimpikan” duduk bersila, di samping kananku ada Shalahudin Al-ayyubi,di kiri ada Muhammad Al-Fatih dan di depanku ada Khalid Bin Walid,serta Rasullullah yang menjadi mentor saat itu. Yang kami bahas adalah strategi menaklukan kampus”