Maaf sebelumnya jika penulis yang menulis ini dirasa belum pantas untuk memublikasikannya. penulis memang masih terlalu muda untuk dikatakan sudah dewasa, penulis pun juga jarang merasakan pahitnya garam kehidupan. Namun penulis yakin lewat pengalaman orang lain dapat juga dipetik banyak buah-buah pengetahuan yang manis untuk ditelan otak. Bukan kah pengalaman akan benar-benar bermanfaat jika kita dapat mengambil hikmah darinya? Dan bukan pengalaman bermanfaat jika sekedar menjadi hafalan kosong, yang dipaksakan untuk mengingatnya agar mendapat nilai biru saat ulangan sejarah.
Hidup memang tak sekedar bernafas. Dalam kehidupan pun, kita bernafas untuk meraih kebahagiaan yang relatif setiap orangnya. Namun punya substansi yang sama, yakni saat keinginan kita tercapai. Ya memang begitu kan?.
Sekarang, terlihat kalau tujuan hidup orang-orang pada umumnya relatif sama. Yaitu ujung-ujungnya duit. Diakui atau tidak, indikasinya sudah sangat-sangat jelas. Bukannya saya tidak setuju seratus persen tentang materialistis yang terlalu sempit seperti itu, tetapi saya tidak setujunya satu giga persen. Paham...
Karena berdasar pengalaman penulis. penulis membagi materialistis itu menjadi tiga form. Yang pertama hipermaterialistis, kedua materialistis positif dan terakhir hipomaterialistis.
Hiper materialistis yakni suati paham yang terlalu mengedepamkan urgensi uang. Bahkan semuanya dihitung dengan tolak ukur uang, ungkapannya pun “ time is money”. Padahal, bukankah “time better than money”. Penganut paham ini pun akan melhirkan sifat liberal pada dirinya. Karena saat semua dihitung berdasarkan uang, secara psikologi yang ada dibenaknya Cuma untung atau rugi. Sehingga muncullah kata-kata “ apa untungnya bagi saya jika melakukan itu?” atau “ semuanya ga jadi duit?”. Kita teliti lebih dalam, memang kaum-kaum ini dapat merusak nilai-nilai kebersamaan dalam suatu masyarakat. Namun, bisa menjadi aktivator eskalasi taraf hidup masyarakat sekitar, dengan semakin ketatnya kompetisi dalam hal materi. Pada intinya, penganut paham ini yang ada di kepalanya Cuma uang alias duit. Mungkin mereka berpendapat, dengan punya banyak uang bisa membuat hotel mewah nanti di neraka sana. Atau dengan uang, bisa beli surat jaminan masuk surga. Sungguh uang seperti itu lah yang paling tidak bermanfaat. Contohnya? Saya rasa anda dengan mudah mencarinya di buku-buku yang terapung-apung di pasaran.
Kedua, hipomaterialistis. Sifat ini didominasi oleh rasa keyakinan bahwa uang bukan lah segalanya. Penganut paham ini berindikasi hidup apa adanya. Contoh nyatanya adalah kehidupan para filsuf Yunani kuno. Mereka tidak menatakan kalau kebahagiaan bisa dicapai lewat kebercukupan materi, atau yang lebih khusus uang. Seperti kata Socrataes, “ kebahagiaan adalah pengetahuan”. Dalam islam, penganut paham ini kebanyakannya adalah para sufi. Mereka seakan telah kehilangan rasa cintanya terhadap dunia, mereka yakin dengan seyakin-yakinnya kalau Allah Maha Kuasa. Sehingga tawakal mereka sangat dalam kepadaNya. Saya sebagai penulis ini pun yakin, kalau uang cuma sebagai media. Sedangkan Allah lah yang mengatur segalanya, termasuk kebahagiaan. Contoh penganutnya seperti al-Farabi, al-Bukhari, Umar bin Abdul Azis, Khulafaur Rasyidin dan lain-lain. Paham ini memang mempunyai banyak segi positif, namun dalam kacamata para hipermaterialistis ini sangat bodoh. Bahkan dikatakan sebagai tindakan yang gila.
Paham yang ketiga, yaitu materialistis positif. Paham ini merupakan akulturasi dari dua paham sebelumnya, sehingga dalam sisi-sisi tertentu berbau hiper dan segi- segi yang lain, beraroma hipo. penulis rasa orang yang menganut paham ini adalah orang yang bijak, khususnya bagi yang “maqam”-nya sebagai orang awam. Mereka punya kecendrungan lebih mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan individu, begitu pula dalam hal finansial. Mereka pula yang selalu mengumandangkan romantisnya dan indahnya ketika “demokrasi” di aktifkan. Itu kata mereka, walaupun pada relitanya saya meyakini tidak ada yang sangat menjalankan demokrasi tersebut secara komprehensif, termasuk Abraham Lincoln sendiri. Tidak percaya? Tanya aja sama Mas Lincoln. Juga karena kemampuan adaptasi demokrasi yang kuat. Sehingga ketika di aktifkan, dia bukan lagi si demokrasi yang dulu di tetapkan... kok, melenceng ke goverment sih? Afwan, penulis terlalu bersemangat ketika membahas hal itu. Maaf.
Nah, mungkin paradigma sudah terbuka. Sekarang anda sudah pasti tahu paham mana yang baik lagi benar, serta dapat menyelamatkan kita, baik itu di dunia maupun akhirat. Terus, alam kuburnya gimana? Ya selamat juga dong.
Sudah bercandanya. Semoga barisan-barisan huruf yang penulis susun bermanfaat bagi kita semua. Bukan maksud menggurui lho? Cuma sekedar menjelaskan hasil penlitian penulis tentang anthropologi masyarakat Amuntai. Sekarang, di bawah ini akan ada lanjutan mengenai kaidak-kaidah finansial untuk remaja kaya kita, yang merupakan hasil fertilisasi ilmu akutansi dan ekonomi praktis...
Yang sudah merasa tua juga perlu lho membacanya...
Remaja Kaya, Bukan Sekedar Khayalan Tingkat Tinggi di Siang Bolong
Remaja memang dunia yang penuh misteri, bahkan banyak statement-statement pasaran yang mengatakan bahwa dunia remaja adalah surga kehidupan, ada juga yang mengatakan masa remaja merupakan masa yang menegangkan. Karena di situ lah nantinya kita menentukan jalan apa yang akan kita tempuh, jalan yang akan kita yakini, jalan yang kita pilih dengan mengorbankan jutaan jalan yang lain.
Di sini kita membahas remaja secara bebas dan tepat. Bukan secara sosiologi maupun psikologi. Karena penulis yakin kalau kita akan menjadi remaja saat kita berpikir kita adalah remaja. Jadi, sangat sulit menentukan interval umur keremajaan. Relativitasnya sangat kental.
Remaja kaya? Ya, merupakan frase yang ambigu bahkan punya seribu makna jika di pikirkan lebih dalam. Saya tidak mengajarkan hipermaterialistis, namun saya Cuma pengen menceritakan apa saja yang tersumbat dalam pemikiran saya masalah finansial remaja. Yang kekuatan uang lah “sangat” berpengaruh, baik terhadap ideologinya, karakter maupun multiple intelejensinya. Cuma sangat, bukan yang benar-benar mempengaruhi sempurna.Ini semua berdasarkan pengamatan penulis terhadap teman-teman penulis yang mempunyai perbedaan dalam status ekonominya.
Kita dalam realitanya melihat. Kalau tak jarang dan banyak remaja yang orang tuanya kaya punya kecendrungan konsumtif. Yang mana, hal tersebut kontradiktif dengan remaja yang orang tuanya masih bisa tangannya memegang garis kemiskinan ( artinya, tidak terlalu di bawah dari garis kemiskinan). Namun, ketika mengamati remaja Amuntai pada khususnya. Hal aneh di lihat penulis. Tidak hanya yang orang tuanya kaya, bahkan orang tuanya yang fakir pun ada yang mengagung-agungkan hedonisme dengan bangganya.
penulis tidak bermaksud membuka aib, penulis cuma pengen mengeluarkan unek-unek saja. Maaf kalau dirasa lebih dari itu. Kembali ke masalah Amuntai. Hedonisnya sungguh terlalu, kadang mereka melihat baju tidak dari segi fungsionalnya. Tapi melihat dari segi prestise nya saja. Yang kadang, penulis melihat kualitas tidak berbanding searah dengan harga. Kalau nya saja berbanding searah, yaa wajar saja kan?. Pikirkan, baju kaos oblong mencapai setengah juta... coba di jadikan aset, tentu akan menghasilkan profit. Belum lagi yang wanitanya, afwan yaa ukhti. Kalau mau beli baju remaja jangan di toko bayi? Mengapa ga sekalian beli popok aja ?
Kembali ke masalah pokok. Remaja akan kaya, logikanya ketika dapat meningkatkan income. Padahal dalam konteks remaja, kita belum punya penghasilan pasti. Gimana caranya buat kaya? Dan nantinya bisa berbagi ke sesama. Caranya? , kita dapat memakai ungkapan ini “ hemat ujung-ujungnya kaya”, geto bro... dengan cara memperkecil pengeluaran, atau bahasanya Robert T. Kiyosaki: remaja akan kaya ketika memperkecil liabilitas (pengeluaran) dan memperbesar aset, aset dalam konteks ini adalah ilmu dan pengetahuan. Memperkecil pengeluaran, lho tidak mesti tidak jajan sama sekali. Tapi kita memutar otak kita untuk menghemat dengan cara mencari barang substitusi keperluan kita, agar lebih useful and cheap.
Hebatnya lagi, kalau kita punya energi untuk beraksi menjadi pengusaha kecil yang prefesional. Usaha yang kita jalankan mungkin yang sederhana saja, asal dapat menjadi eskalator jiwa entrepreneurship...intinya, “ Hemat ujung-ujungnya kaya”
Virus-Virus Yang Memproduksi Embrio Miskin
1. Pola Hidup Konsumtif. Ya begitu lah. Analoginya, ibaratkan kantong remaja adalah sebuah dam raksasa. Dam tersebut bisa terisi air melalui hujan air dari orang tua kita atau air sungai dari penghasilan sampingan. Namun walaupun hujannya sangat deras, tetapi pintu dam dibuka dengan lebar. Ya, sama juga bohong. Hasilnya nol pangkat seribu, nol besar. Agar tidak konsumtif, kita harus mempelajari tabiat uang tersebut. Yang pada umumnya, akan mengubah pola pikir seseorang dalam masa transisional. Bahasa sederhananya, uang mampu mengubah sifat hemat orang yang tak terbiasa membawa banyak uang, ketika memegang uang banyak. Tante penulis pernah berkata “ jangan berpikir uang itu seperti bara api. Yang semakin banyak, maka kamu akan semakin membuangnya karena panas”, benarkan kalimat itu? Dan semoga tante saya tersebut mendapat tempat yang baik di alamkubur dan akhirat. Karena beliau telah lama meninggalkan saya. Jadi sedih deh saya. Solusinya, uang kita lebih baik cepat-cepat kita tabung di bank, bank nya yang syar’i yaa (maaf promosi).
2. Berpikir jangka pendek. Ini pun sangat erat kaitannya dengan sifat konsumtif. Oleh karena itu, sebaiknya kita membuat peta hidup, baik mingguan, bulanan atau tahunan. Sehingga hidup kita tertata rapi. Nantinya, kita akan terbiasa membeli apa saja yang benar-benar kita perlukan. Bukan belanja untuk memenuhi hawa nafsu. Hati-hati lho, ketika kita menuruti hawa nafsu, kita sudah termasuk orang-orang yang tabdzir, innal mubaadziri na kaanu ikhwanasysyayathin...dan setan adalah musuh yang nyata bagi kita. Dengan berpikir jangka panjang, kita akan lebih sadar dan paham akan pentingnya hidup hemat. Bayangkan tiba-tiba kita sakit, masuk rumah sakit kan bayar? Pergi ke dokter jadi-jadian yang ada di kampung mutan aja bayar ? iya tidak mbah dokter? Supaya kalian-kalian yang pengen kaya cepat pahamnya, ane saranin baca buku Laa Tahzan-nya Dr.’Aidh al-qarni, rich dad-poor dad nya Robert T. Kiyosaki dan Rich kid yang penulis lupa nama penulisnya. Intinya berpikirlah jangka panjang.
3. Kebiasaan manja. Nah lho, penulisnya aja kena. Ini yang harus kita ubah ke arah yang lebih baik. Namun, jangan salahkan Bunda mendidik ya !!! ketika muncul sifat manja, biasanya semua kemauan harus direalisasikan. Namun agar rasa itu dapat dinonaktifkan, ingatlah saudara-saudara kita yang kekurangan. Manja inilah yang menjadi bibit sifat konsumtif, sehingga kita akan berpikir pendek. Ane usulin, agar terjadi dekadensi unsur-unsur manja yang telah bersenyawa dengan kepribadian kita, kita sebaiknya banyak-banyak membaca biografi maupun autobiografi orang-orang yang sukses, seperti nabi kita Muhammad SAW. Atau untuk menambah pengetahuan, seperti Warren Buffet, Andre Wongso, Purdi Chandra, Bill Gates, Abdurrahman bin auf dan kawan-kawan. Yang pada intinya, sifat manja akan melahirkan sifat malas, malas adalah embrio kebodohan dan kebodohan adalah pangkal kemelaratan dunia akhirat.
4. Pengaruh radiasi negatif lingkungan. Radiasi? Ya. Karena sifatnya yang abstrak. Intinya kita harus bersifat semipermeabel terhadap lingkungan. Dengan arti, absorpsi semua pengaruh positif dan “tendang sekaligus perbaiki” yang negatif. Jadikan lingkungan sebagai katalisator kita menjadi remaja yang kaya dunia-akhirat. Saya tidak mengajarkan ente untuk menjauhi teman yang ga baik lho. Tapi dari situ kita dapat memperoleh pelajaran yang bermakna dan akan lebih baik jika kita mengembalikannya ke “ jalan yang benar”. Jangan takut untuk berbeda dari orang, bukan kah orang yang beda itu yang selalu menjadi bahan perhatian. Ada suatu analogi: “ empat orang hemat bergabung dengan satu orang konsumtif. Maka yang konsumtif itu yang dianggap aneh, lalu yang empat itu mendakwahinya agar hemat” itu sangat wajar. “ ada empat orang konsumtif bergabung dengan satu orang hemat. Maka yang hemat akan terbawa arus dan konsumtif” itu salah total bung.... logikanya terlalu tradisional, kaya sillogismenya mas Aristoteles aja. Seharusnya “ hemat yang satu tadi akan menjadi imam dan mengajak yang konsumtif tadi untuk bertaubat, dengan sebenar taubat. Mohon ampun kepada Allah YME atas kekonsumtifannya, menyesal dan berniat untuk tidak melakukannya lagi”
Waduh,,, kayanya sudah kebanyakan nih penulis bercerita. Semoga apa yang ada di tulis ini bermanfaat untuk kita semua. Penulis menyadari atas banyaknya kesalahan yang ada di sini. Maksud penulis cuma ingin memberantas “buta finansial”. Maaf jika tulisan penulis dianggap penyebar benih materialistis dan kapitalis. Penulis ingin pendidikan di Amuntai khususnya pendidikan finansial tidak dipandang sebelah mata.
Lalu bersama-sama kita simpulkan, kalau seorang yang berpendidikan wajib kaya dengan ilmu yang ia miliki lewat izin Allah Yang MahaKaya. Hindari dan jijik lah pada sifat konsumtif, yang tak lain merupakan nenek moyangnya si boros. Dan aset terbesar yang kita miliki adalah waktu, sehingga muncullah paradigma. Kalau belajar lah yang menjadi liabilitas kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar