Minggu, 15 Februari 2009

"Vox Populi Vox Dei" Hanya Mitos dalam Politik Bernegara


Kehidupan berpolitik merupakan sistem kehidupanyang paling dinamis yang pernah ada. Akselarasi perubahannya melebihi dari aspek teknologi, apalagi pertanian. Dari waktu ke waktu pun, semakin sangat nyata kaidah demokrasi hanya suatu konsep yang dipaksakan redaksinya. Hal itu dibuktikan dengan paradoksnya idealitas dan realitas yang ada dalam konsep tersebut.
Demokrasi yang berasal dari kata demos dan cratos ini, mencerminkan adanya kekuataan yang dominan berada di tangan rakyat. Kita kembali ke sejarah, bagaimana Abraham Lincoln mengatakan kalau demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kalau dipikirkan, konsep itu begitu bijaksana dan “diprediksi” akan dapat mensejahterakan rakyat.
Karena rakyat merupakan pemegang kunci dari kaidah ini, maka diadakanlah pemilu sebagai salah satu media untuk menyalurkan aspirasi yang ada pada rakyat. Sehingga semakin nyata bahwa yang memagang kendali adalah rakyat secara umum. Tak peduli apakah latar belakangnya mengerti masalah pemerintahan dan politik, atau hanya rakyat yang materialis.
Dalam logika penulis yang masih kurang ilmu ini. Kalau demokrasi seperti itu, bagaimana nasib suatu negara yang didominasi oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Yang lebih parah lagi, bagaimana seandainya kalau kemenangan para materialis tadi hanya beda tipis dengan orang-orang yang mempunyai mental berkepemimpinan dan mengerti arti sebuah pemerintahan. Rumitkan ?
Itu Cuma masalah kecil saja. Akhir-akhir ini, malahan demokrasi semakin memperumit prosedurnya dan mengaburkan substansi yang telah ada, sependapat dengan Moch Nuhasim ,S.IP, M.Si seorang peneliti tentang perpolitikan dari LIPI Jakarta. Sehingga para pemimpin yang mengaku demokratis sebenarnya hanya memimpin dengan konsep insidental tanpa adanya landasan yang jelas.
Sehingga kita sebagai generasi muda, sudah saat berpikir untuk mensintesis konsep pemerintahan yang terbukti keunggulannya. Apalah makna vox populi vox dei ( suara rakyat adalah suara tuhan) kalau hanya akan melahirkan masalah baru yang sangat kompleks dan ambigu.
Sebagai solusi, kita juga patut memikirkan konsep yang diajukan oleh suatu organisasi da’wah HTI yang meneriakan konsep khilafah sebagai obat penyembuh atas luka-luka yang ditinggalkan demokrasi. Namun, yang terpenting menurut penulis bukan hanya khilafahnya yang berdiri. Tetapi harus ada langkah untuk menyiapkan rakyatnya untuk menggunakan sistem khilafah. Sistem ini sudah terbukti efektif pada masa yang lalu dan tentu tidak perlu mencari kelinci percobaan dalam penemuan konsep pemerintahan yang baru. Sehingga nantinya konsep khilafah ini dapat dialankan secara efektif dan totalitas. Seberapa sempurnanya suatu konsep, kalau tidak dijalankan secara totalitas hasilnya juga akan nihil.
Solusi yang lainnya. Kalau penegakkan khilafah itu memerlukan waktu dan persiapan yang lama. Sebagai alternatif, penulis rasa aktualisasi dan kristalisasi nilai-nilai islamiyah dalam kehidupan berpolotik dan goverment adalah kuncinya. Karena dalah syari’at islam, terjadi keseimbangan antara hal apa saja yang boleh ditentukan oleh rakyatnya menggunkan logika dan ada juga ketetapan yang sudah ditentukan oleh ALLah azza wa jalla. sehingga nantinya akan tercipta sistem perpolitikan dan pemerintahan yang berkesejahteraan. Kalau boleh memberi istilah, inilah yang disebut demokrasi yang ideal. Demokrasi islamiyyah.
Mengapa yang ideal? Karena di sini terjadi sinergisitas yang luar biasa antara kita sebagai zoon politicon dan zoon religion. Dari sinergisitas itu, nantinya akan muncul semangat mencapai pemerintahan ideal. Karena telah tertanam semangat kalau berkepemerintahan juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Inilah sebenarnya konsep pemerintahan yang bisa disebut ideal. Bukan sekuler. Penulis pun yakin, sekularitas begitu berkembang di eropa khususnya prancis disebabkan agama di sana yang irasional dan tidak universal, serta terlalu kolot. Seandainya mereka mengenal islam ( maaf pengandaian itu sebenarnya tidak baik, tapi sekarang karena untuk kebaikan) penulis yakin mereka tidak akan pernah kenal dengan istilah sekuler.



Selasa, 10 Februari 2009

Menulis Bukan Hanya Budaya Kaum Intelek

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya banyak konsep-konsep atau pun postulat ilmu pengetahuan yang baru ditemukan atau malah penyempurnaan dari ilmu sebelumnya. Tak disangka pula, kadang banyak hal-hal yang menjadi beban pikiran para “ilmuwan besar” telah diselesaikan dengan mudah lewat diskusi terbuka ( baca:canda) orang yang notabenenya tidak tahu menahu kalau masalah yang telah ia selesaikan adalah masalah sulit bagi para ilmuwan. Di pikir lebih lanjut, ternyata memang benar. Bahkan kalau kita mengacu kepada historis sains. Banyak penemuan yang tidak disengaja. Contohnya seperti sel volta, struktur benzena, konsep gravitasi dan banyak lagi yang lainnya.

Sedikit pengantar di atas semoga bisa membuat kita semakin paham bahwa ada banyak hal hebat dan penting yang telah kita pecahkan setiap harinya. Namun sayangnya semua hal tersebut tidak kita sadari atau kita sadari namun hilang begitu saja, tanpa ada kesan yang mendalam. Hal itu semua secara sederhana dapat diketahu penyebabnya bahwa kurangnya kepekaan kita untuk mengabadikan “penemuan” kita tersebut.

Kita pikirkan lebih lanjut. Tentu betapa ruginya ketika kita dapat memecahkan masalah ilmuwan besar namun tidak dapat kita abadikan. (karena faktanya kemampuan berpikir dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan. Sehingga tidak menutup kemungkinan pada kondisi tertentu seseorang yang bukan ilmuwan mampu menelurkan ide yang lebih brilian dari Einsten sekalipun)

Yang jadi masalah esensialnya adalah kekurangmampuan kita dapat menulis semua hal penting yang telah kita temukan, baik secara sengaja maupun tidak. Ya, memang menulis adalah tali untuk mengikat ilmu yang telah kita lumpuhkan (baca:kuasai). Sehingga, begitu banyak ilmuwan yang dilupakan oleh peradaban karena ketidakmampuannya dalam menulis ide-ide yang mereka punyai. Malahan, kadang banyak orang biasa-biasa yang mampu menuliskan idenya menjadi dikenal sebagai ilmuwan besar. Bukan meremehkan kemampuan orang tersebut, namun untuk memunculkan fakta yang sebenarnya dan sebagai “pukulan hangat” bagi semua orang yang mempunyai pengetahuan, untuk menulis.

Menulis memang suatu kegiatan yang sebenarnya sangat mudah. Walaupun banyak orang yang mengatakan menulis adalah suatu kegiatan orang intelek saja. Atau menulis adalah suatu efek dari banyaknya membaca. Sebenarnya memang benar, menulis adalah budaya intelek yang memang sudah tidak diragukan lagi minatnya dalam membaca. Namun, agar kita yang biasa-biasa ini mampu meningkatkan minat dalam menulis. Dapat juga dilakukan pembalikan mind-set tadi. Sehingga kita dapat menulis tanpa harus dibebani untuk menjadi orang intelek terlubih dahulu. Atau kalau bisa budaya menulis kita, juga dibarengi dengan proses menuju intelektualitas.

Logikanya mudah. Dengan pembiasaan menulis yang ringan-ringan (masalah yang dibahas tidak terlalu kompleks), maka dengan sendirinya akan muncul minat untuk membaca,sebagai modal untuk bahan tulisan yang lebih lanjut.

Dengan menulis yang ringan-ringan dulu. Kita akan terbiasa menulis dan akan memahami substansi dari menulis itu sendiri. Selain itu, juga akan ditemukan kenikmatan tersendiri dalam menulis. Secara umum, dengan pembiasaan tadi akan menjadi katalis meraih kemampuan menulis yang lebih baik. Bukan kah practice makes perfect?

Namun yang lebih penting agar tumbuh budaya menulis. Pertama, berpikirlah kalau menulis menjadikan konsep yang ada di kepala kita lebih matang. Karena dengan menulisnya kita akan dengan mudah mengoreksi konsep tersebut, konsep yang selama ini abstrak di kepala. Selain itu, kita akan bisa lebih memahami konsep tersebut dengan komprehensif.

Selain itu, menulis juga dapat menjadikan otak kita bekerja secara sistematis. Yang akhirnya kita dapat mengetahui pola pikir kita, sekaligus memahami mana masalah yang sederhana dan mana yang masalah perlu pemikian khusus. Bahkan dengan menulis bisa menjadikan kita kecanduan dan akhirnya cinta mati dengan membaca. mengapa? Ibarat mobil adalah proses menulis, maka membaca adalah bahan bakarnya lalu style mobil adalah gaya kepenulisan kita. Lalu kecepatandan ketepatannya adalah rasionalitas kita. Pokoknya menulis sangat banyak manfaatnya.

Lalu apakah kalau ingin menulis harus punya banyak bahan bacaan? Tentu saja tidak. Ada orang bijak mengatakan, “ orang pintar bukanlah orang yang mempunyai banyak buku lalu membacanya. Orang pintar adalah orang yang mempunyai kemampuan membaca kehidupan” sehingga, walaupun bacaan kita sehari-hari bisa dikatakan pas-pasan. Namun jika kita menulisnya, akan secara otomatis kita akan melakukan re-intrepretasi dan melakukan pengembangan terhadap konsep yang sudah kita punyai. Dengan menulis pula, kita akan mudah menghubungkannya dengan realitas yang ada. Terakhir, kita akan mudah melakukan implementasi.

Selamat menulis... menulis itu mudah.