Pelajar atau siswa seyogyanya adalah seorang yang berilmu dan berpengetahuan, serta mampu mengaplikasikan semua ilmu dan pengetahuan yang pelajar tersebut miliki untuk menguatkan eksistensinya sebagai agen of social change. Ilmunya tersebut pun, sudah semestinya dan memang begitulah seharusnya bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Karena substansinya ilmu adalah cahaya yang mampu menerangi jalan kita.
Tidak dibantah lagi, hampir semua agama menitik beratkan akan urgensi ilmu sebagai bahan bakar eskalasi kualitas suatu peradaban. Lebih khusus dengan dienul islam, kita bahkan sudah tahu hukumnya untuk menuntut ilmu. Baik dari buaian sampai liang lahat. Kebahagiaan dunia dan akhirat pun dapat kita capai jika dan hanya jika berilmu dan berpengetahuan.
Terus ilmu yang bagaimana yang mampu memunculkan sosok pelajar dalam kaitannya dengan eksistensi sebagai agent of social change. Apakah hanya dengan teori-teori konvensional? Tentu bukan. Selain ilmu dan pengetahuan yang memang sudah semestinya diserap di sekolah. Ternyata ada lagi ilmu dan pengetahuan urgen yang “seharusnya” diketahui dan dikuasai oleh pelajar, walaupun lebih tepatnya disebut skill. Tentu kita bertanya-tanya, ilmu apakah itu?
Penulis rasa sedikit pengantar di atas sudah mampu menyentuh mindset para pembaca. Dan mudah-mudahan mampu menjadi bahan bakar semangat untuk membaca sedikit tulisan di sini dengan antusias. Karena banyak orang bijak mengatakan, kesuksesan seseorang tergantung dengan attitude-nya dan attitude-nya tergantung dengan semangatnya. Semangat !
Hidup seorang pelajar secara garis umum adalah untuk belajar. Belajar pun merupakan suatu proses variatif yang disesuaikan sikon karena pengaruh insidentalitasnya. Selanjutnya, dalam dunia kepelajaran juga sudah tidak asing lagi yang namanya “organisasi”. Walaupun sebenarnya dunia organisasi lebih didominasi oleh para mahasiswa. Tapi sebenarnya prinsip-prinsip keorganisasian yang fundamental dapat dikenal oleh pelajar lewat aktif berorganisasi tanpa menafikan tugas utamanya sebagai pencari ilmu.
Sebelum lebih jauh tentang organisasi. Agar tidak terjadi miss-understanding, sebenarnya dalam persfektif penulis organisasi pada umumnya bersifat seperti organ. Organ itu merupakan kumpulan dari berbagai jaringan yang berbeda secara anatomi dan fisiologi, namun punyai goal atau istilah sekarang “visi-misi” yang hampir mendekati sama. Ya, hampir mendekati sama karena ada perbedaan. Sependapat dengan seorang aktivis Jogja yang bernama M. Ridha, perbedaan tersebut ada karena organisasi mempunyai dualitas eksistensi. Organisasi sebagai kumpulan manusia yang menpunyai tujuan sama dan sekaligus kumpulan manusia yang saling bersaing menentukan tujuan bersama. Ada integrasi sekaligus independensi.
Hubungannya dengan kepelajaran, organisasi sebenarnya merupakan suatu media untuk mengetahui, mengembangkan sekaligus mengaplikasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh pelajar. Dengan berorganisasi pula, pelajar akan mampu meningkatkan kepekaannya terhadap problematika sosial. Sehingga, semangatnya untuk menuntut ilmu meledak. Supaya para pelajar tahu dan paham akan urgensi dari belajar. Belajar tidak hanya untuk memenuhi standar ketuntasan, belajar tidak hanya duduk di kelas dan mendengarkan guru, belajar tidak hanya untuk meraih rangking dan belajar tidak hanya formalitas belaka untuk mendapatkan job. Belajar adalah proses, belajar membuat kita tahu, belajar pun untuk dipelajari dan belajar adalah kebutuhan setiap manusia. Tanpa makanan manusia akan kelaparan. Tanpa minuman manusia akan kehausan. Tanpa oksigen manusia akan mengalami kematian. Tanpa belajar, sebenarnya dampaknya sangat-sangat buruk dari dari dampak kelaparan dan kehausan, serta kematian.
Dengan organisasi pula, ada ilmu-ilmu urgen yang akan didapat. Yang akan dipahami secara komprehensif, karena selain kurang diajarkan di sekolah juga karena minimnya praktek. Kan practice makes perfect? Is it right? Ilmu tersebut antara lain public-speaking, basic of management, birokrasi, psikologi dan pastinya basic of leadership.
Buktinya, public-speaking pelajar diasah di organisasi dengan seringnya rapat atau musyawarah dalam organisasi tersebut. Kadang pula, organisasi mengadakan seminar atau sejenisnya yang menuntut para kadernya untuk bicara, minimal menjadi mc ( master of ceremony) dan banyak hal lainnya yang memang terbukti mengasah public-speaking skill para kadernya. Management, hal ini dibuktikan dengan adanya AD/ART dalam organisasi yang menuntut agar semua kadernya paham. Selain itu, sudah secara spontan para kader suatu organisasi akan melakukan pengaturan terhadap agendanya satu periode ke depan. Pada saat pengaturan tersebut, para kader tersebut secara tidak sengaja telah menerapkan suatu prinsip dasar manajemen yang menurut George Terry dalam Basic Element Consept System berupa planning, observing, actualiting dan controlling. Bahkan manajerial yang ada dalam suatu organisasi biasanya sudah merupakan manejerial rumit yang menekankan kepada kaejeniusan personal dalam segala tahap, termasuk memprediksi apa yang akan terjadi setelah sesuatu agenda dilakukan termasuk follow up setelah itu. Birokrasi, sudah tentu dalam organisasi untuk melaksanakan agendanya perlu dana. Pada suatu saat, karena berbagai variabel dana dalam kas tidak akan mencukupi untuk merealisasikan schdule tersebut. Sudah tentu para kader organisasi tersebut akan mencari dana keluar dan salah satu objeknya adalah instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan jenis agendanya tersebut. Agar proposal kegiatannya disetujui, mau tidak mau para kader tersebut harus mempelajari birokrasi yang benar saat menangani instansi tersebut, harus tahu format surat yang tepat untuk organisasi tersebut dan secara psikologi harus mampu mempengaruhi pegawai di sana agar mau “memahami urgensi” dari kegiatan yang akan direalisasikan. Masalah leadership penulis rasa semua sudah memahami hubungannya dengan organisasi. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau pendidikan leadeship yang “sebenarnya” didapat ketika aktif di suatu organisasi.
Kebanyakan orang berpendapat kalau pelajar yang biasanya aktif di organisasi mempunyai aspek kognitif yang standar. Tapi menurut penulis itu hanya pendapat yang perlu ditanyakan kebenarannya. Mungkin itu hanya logika silogisme sederhana yang minim bukti. Atau adanya miss-understanding “kebanyakan orang” tadi terhadap substansi organisasi yang sebenarnya. Atau juga karena adanya problem dalam diri pelajar itu sendiri.
Penulis rasa yang menyebabkan adanya stigma pada kebanyakan orang terhadap aspek prestasi seorang aktivis adalah karena kekurangmampuan aktivis tersebut untuk menunjukan citra dirinya, bukan karena efek-efek dari aktifnya di organisasi. Padahal sudah jelas bahwa aktif di organisasi akan menjadikan pelajar yang bersangkutan lebih disiplin serta menonjol dari pelajar-pelajar “biasa”.
Berikut ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika ingin aktif di organisasi sekaligus mampu meraih prestasi yang luar biasa di sekolah. Mudah-mudahan ini bisa menjadi oto-saran bagi penulis sendiri, antara lain:
Manajemen Pikiran
Innamal ‘amalu binniyat, penggalan hadits ini memang sudah tidak asing lagi untuk didengar atau dibaca. Namun kadang substansinya masih ada yang belum memahami secara komprehensif. Konteksnya dengan organisasi, niat ini merupakan hal yang paling urgen dan yang paling mempengaruhi akan keberadaannya nanti di organisasi. Tipologi niat yang paling tinggi dan agung adalah berniat untuk aktif di organisasi lillahi ta’ala. Apabila organisasinya dalam bidang dakwah islamiyah, aktivis tersebut akan merasakan betapa manisnya iman dan takwa. Apabila dalam bidang ekonomi, aktivis tersebut akan menjadi orang yang kredibel dan jujur. Apabila dalam bidang politik, aktivis tersebut akan menjunjung nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan. Apabila dalam bidang jurnalistik, mereka akan memusnahkan rasa sombong dan haus pujian. Sehingga mereka tidak menganggap sia-sia waktu, pikiran serta harta yang telah di korbankan ketika aktif.Pokoknya, luruskan niat!
Niat sudah lurus, mulailah memahami akan arti sebuah perjuangan dan pengorbanan. Karena dalam berorganisasi, dua variabel tadi pasti akan ditemui. Aktivis akan berjuang untuk merealisasikan visi-misinya dengan pengorbanan baik itu waktu, dana, pikiran dan emosi.
Untuk meningkatkan prestasi, design pikiran kalau berorganisasi tidak akan membuang waktu. Jangan sampai pikiran kita untuk berprestasi lumpuh karena alasan sibuk berorganisasi. Karena orang pengecut selalu mencari alasan dan sang pemenang mencari jalan. Untuk awal, bersikap lah optimis. Ingat, ketika satu jam dari waktu sehari digunakan untuk berorganisasi. Itu merupakan waktu untuk memompa semangat untuk belajar. Sehingga 23 jam yang lain dapat digunakan untuk belajar dengan penuh semangat. Dalam The Magic of Thinking Big karya David J. Schwartz ditulis bahwa We’re what we think. Jadi, kalau ingin berorganisasi sekaligus berprestasi tanamkan dalam pikiran kalau kita “bisa” untuk berprestasi. Dan fokuslah pada potensi diri kita, walau ada orang lain yang lebih cerdas. Namun ketika kita menjebak mereka agar menjadi bodoh, kita tidak akan berprestasi. Positive thingking karena Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.
Selektif Berorganisasi
Suatu organisasi idealnya merupakan suatu wadah untuk mengenali sekaligus mengembangkan potensi. Yang perlu diperhatikan, tidak semua organisasi seperti itu. Jadi, sebelum terjerumus ke organisasi yang tidak jelas AD/ART, visi-misi serta gerakannya. Lebih baik cari organisasi lain yang berkualitas dan mempunyai visi-misi yang baik dan benar.
Dalam memilih, penulis sangat sulit untuk memberikan saran karena variatifnya mind-set manusia. Namun pada intinya, pilihlah organisasi yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, suatu kebanggaan pula jika bergabung dengan organisasi yang negative lalu mengubahnya ke arah yang lebih positive.
Manajemen Waktu
Di sini yang lumayan urgen dan sulit. Dalam manajemen waktu, sangat sulit untuk menciptakan keseimbangan berorganisasi dan belajar. Namun kita harus tahu kapan beroganisasi yang diutamakan dan kapan belajarnya yang diutaman. Namun kaidahnya “utamakan yang lebih utama” . Berdasarkan pengalaman penulis yang juga aktif di berbagai organisasi, sebenarnya waktu yang diluangkan untuk benar-benar berorganisasi itu sangat sedikit. Yang banyak membuang waktu adalah berjanda ketika bertemu sesama aktivis. Oleh karena itu, seorang aktivis harus pintar-pintar memutar otak agar waktunya yang 24 jam sehari ini dapat efektif. Kalau perlu jangan nonton tv yang acaranya tidak berkualitas, jangan sampai CBSA (Cinta Bersemi Sesama Aktivis) dan belajar whereever and whenever we can.
Buat jadwal harian dari bangun tidur sanpai tidur kembali. Untuk lebih jelas, kalau tidak salah di novel Ayat-Ayat Cinta ada cerita tentang membuat peta hidup. Nah di sana pasti lebih jelas arti pentingnya schdule. Lalu setting organisasi yang dimasuki agar bernuansa edukatif dan konstruktif. Contohnya, buat kelompok belajar sesama aktivis atau jadikan kewajiban kader untuk belajar beberpa jam sehari, lalu beri hukuman bagi kader yang tidak belajar.
Selain itu, hilangkan paradigma kalau belajar hanya bisa di meja belajar. Ketika berkumpul sesama aktivis, sebenarnya kita bisa saling berdiskusi tentang pelajaran di sekolah. Baik itu kimia, fisika, matematika, ekonomi, sosiologi, apalagi pelajaran yang ada hubungannya dengan organisasi. Kalau tidak ada yang diajak berdiskusi, alangkah baiknya kita membawa buku ke sekretariat organisasi. Menungu kader lain untuk rapat, kita bisa melahap bebarapa bab. Intinya, di mana ada kesempatan di situ untuk belajar.
Disiplin
Ketika jadwal sudah tersusun rapi. Niat dan komitmen berorganisasi pun sudah terpatri di hati. Saatnya kita disiplin terhadap schdule yang telah direncanakan. Karena disiplin adalah rohnya prestasi, mustahil suatu prestasi dapat diraih tanpa adanya disiplin.
Disiplin sangat penting. Namun penulis sendiri menyadari betapa sulitnya untuk direalisasikan. Padahal dalam islam pun disiplin merupakan suatu konsep yang sangat fundamental, hal itu dapat dilihat dari adanya pembagian waktu shalat dan besarnya pahala shalat jika dikerjakan berjamaah di awal waktu. Dalam satu sisi, kadang kita juga harus mempunyai kejeniusan untuk memanipulasi kedisiplinan tersebut. Gunakan rasionalitas untuk menentukan apa yang terbaik yang dapat dilakukan pada saat-saat tertentu karena tak jarang apa yang telah dijadwalkan sebelumnya hanya kegiatan yang miskin makna saat sudut pandangnya ketika akan melaksanakan schdule. Pada point kali ini menitik beratkan kepada kedisiplinan yang jenius. Jangan asal disiplin.
Semoga apa yang disampaikan penulis bermanfaat bagi kawan-kawan aktivis lain. Sebenarnya berorganisasi merupakan suatu langkah jenius untuk mengetahui, mengembangkan sekaligus mengaplikasikan potensi diri. Jadilah aktivis yang kaya akan prestasi !
Mari kita rapatkan barisan demi terciptanya indonesia yang adil dan sejahtera, serta bernafas islamis. Kita buang jauh ego independensi dan perkuat integrasi islam. Sayyid Qutb pernah berkata “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar”.
Penulis yakin stigma terhadap prestasi para aktivis merupakan opini yang materialistis dan kadang ambigu esensi kebenarannya. Penulis menyerukan kepada rekan-rekan aktivis, Luruskan niat ! Rapatkan barisan dan terus berjuang ! ini adalah jihad kita. Allahu akbar ! wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar