Rabu, 22 Desember 2010

Kisah Sukus dan Tukus

Syahdu, menikmati irama-irama sendu yang menemani perjalanan menuju amuntai. Memahat perasaan hingga melembutkan batin. Melukis di beningnya hati. Menari-nari bersama indahnya nalar yang mulai bermesraan di gelombang pemikiran. Dawai-dawai asmara yang saya rasa, semakin menambah romantis perjalanaan itu. Terbayang, jelita dan menarik.
Saat itu, menjadi titik puncak kerinduan yang telah lama saya penjarakan dalam diri. Hijab yang ditarik, kembali membuka hati ini padanya. Subhanallah.
Cinta saya padanya. Ah, tak bisa dikata-katakan lagi.
***
Jujur, ekonomi kembali merayuku. Saat pikiran mulai ku refresh di perjalanan to amuntai. Eh, tiba-tiba rasa kangen itu muncul. Ingin rasanya lagi membelai The Mystery of Capital-nya Hernando de Soto. Bermesraan dengan Wealth of Nation-nya Adam Smith. Rich Dad and Poor Dad-nya Robert. T. Kiyosaki, memeluk FSQ ( Financial Spiritual Qoutien) dan buku-buku filsafat lain yang telah membuatku dimabuk asmara.
Wahyu, teman SMA-ku “ yed, bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu itu!”. Terima ksih teman, walau kata-kata itu bukan orisinil darimu. Namun cukup menguatkan langkahku disaat malas. Terima kasih Pa Amat, yang telah menjadi teman diskusi saat SMA. Ketika kita sama-sama membahas ekonomi dari kapitalis, matrealis sampe islamis mulai titik teori sampai penyimpangan-penyimpanan yang saat itu tak bisa kupahami semua.hehe. tapi selamat ! anak-anak binaan bapak bisa jadi juara 1,2 dan 3 dalam olimpiade ekonomi tingkat provinsi. Luar biasa ! sampe gak bagi-bagi sama SMA lain. Heheh
Aku ingin suatu saat nanti, anak-anak IPS bukan jadi anak tiri dibanding jurusan IPA. (walau pun aku IPA). Terima kasih Bu BP yang sudah menjerumuskanku ke IPS Cuma gara-gara menang olimpiade kimia. Jujur aku cinta ekonomi, sayang juga sama matematika, fisika, kimia dan biologi, termasuk sejarah.
Mengapa aku cinta ekonomi? Ini jawabannya. Sedikit logika yang kuambil dari buku Satanic Finance. Pake bahasa sederhana, bahkan terlalu sederhana. Leburan tulisan dari teori-teori rumit bin memusingkan, “kata orang”.

***
Syahdan di suatu samudera terdapat dua pulau yang bertetangga. Sebut saja pulau Aya dan pulau Baya. Di pulau Aya, suku Sukus hidup sejahtera. Mereka dikaruniai daratan yang subur. Mereka hidup bercocok tanam. Pertanian mereka menghasilkan aneka sayur-sayuran dan buah-buahan tropis. Ikan dan sumber daya laut sangat melimpah. Tidak hanya itu,pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemericik air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan para pelancong dan wisatawan local maupun luar pulau.
Selain sebagai symbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku, mencetak koin emas. Maka semua transaksi jual beli yang semua dilakukan dengan barter beralih dan diukur dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan simple.
Meskipun begitu, mereka tidak mendewa-dewankan emas sebagai satu-satunya pencapaian. Kehidupan sosiak mereka tampak lebih penting. Ini bisa dilihat dari cara mereka saling tolong-menolong. (kami didunia setan sangat membenci prilaku ini). Ketika anggota suku perlu membangun rumah baru karena rumah lama tersapu ombak, yang berarti menguras emas simpanannya, anggota-anggota suku lainnya dengan suka-rela meminjamkan emas miliknya. Hebatnya, tanpa charge atau tambahan apapun. “ Dasar manusia bodoh, sudah meminjamkan uang kok tidak mau minta kompensasi,” begitu gerutuan kami.
Kami semakin pusing karena tidak terbatas itu saja, mereka juga bergotong-royong satu sama lain dengan ikhlas. Padahal kami ingin,paling tidak, mereka lakukan itu dengan riya. Pantas lah bila kehidupan mereka meskipun sederhana tapi diliputi semangat kesetiakawanan yang tinggi. Anggota suku terbiasa bahu-membahu mengatasi persoalan bersama. Boleh dikata, mereka hidup rukun dan damai.
Sementara pulau tetangganya, pulau Baya,didiami suku Tukus. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah atau lading dan memelihara ternak. Sebagian lagi yang memiliki keterampilan khusus, memproduksi kerajinan tangan.
Dibandingkan suku Sukus, mereka lebih sederhana. Mereka menggunakan system barter dalam transaksi keseharian. Yang menghasilkan padi menukar berasnya dengan kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang secara ekonomi, kesejahteraan mereka di bawah suku Sukus. Mereka memang kebanyakan hanya pekerja kasar. Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju seperti halnya Sukus. Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku Sukus. Mereka, apalagi para wanitanya, sangat senang menerima koin emas sebagai jasa dari padi atau kerajinan tangan yang mereka hasilkan. Meskipun berbeda dalam hal kesejahteraan, ada satu persamaan menonjol di antara Sukus dan Tukus. Mereka sama-sama hidup damai, rukun, dan saling tolong-menolong. Mereka sering bershilaturrahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang.
Sampai akhirnya datang tamu istimewa ke sulang buana. Sebagai ku Sukus. Berpenampilan parlente, dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh di pulau Aya. Gago dan Sago, begitu mereka mengenalkan diri saat dijamu oleh Saka, pemimpin suku Sukus. Kedua tamu ini disambut dengan suka cita. Saka dan para pembantunya sangat terkesan dengan kisah Gago dan Sago yang mengaku sudah melang buana. Sebagai bukti, kedua orang asing itu lalu memamerkan koin emas asing yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat perlawatan.
Satu hal lagi –dan ini yang paling menarik bagi Saka dan punggawanya- adalah kertas yang dinyatakan sebagai uang. Gago dan Sago lalu memperkenalkan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien ketimbang emas yang sehari-hari mereka pakai. Itu lah kenapa uang kertas ini sudah dipakai di Negara-negara yang jauh lebih maju disbanding tempat mereka tinggal. Gago dan Sago yang mulai mendapat respon positif semakin bergairah menjelaskan uang kertas ini kepada sang tuan rumah. Lalu, mereka memperkenalkan mesin oencetak uang.
“Gambar anda akan terpampang dalam uang kertas ini,” Gago menunjuk uang kertas sembari menyunggingkan senyum kea rah Saka.
“Benarkah ?” sela Saka berbinar. Dalam hati Saka girang bukan kepalang. Seumur hidupnya, tidak ada orang yang memberikan penghormatan sebagaimana dua tamu istimewanya.
Kami pun membisikkan ke dada Saka, “Hai Saka, kalau uang kertas bergambar dirimu diterbitkan, pasti kamu menjadi manusia terkenal hingga daratan yang pernah disinggahi para tamumu yang luar biasa itu.”
“ Seratus persen Anda akan menjadi orang terkenal!” Sago menimpali sembari mengangkat dua jempol tangannya ke atas. Sago memang agen tulen kami. Tanpa kami bisikan sesuatu, ia sudah tahu apa yang harus diperbuat. Dan pujian itu melambungkan angannya. Ha..ha..ha… pancingan Gago dan Sago mengena. Dua agen kami ini pun semakin antusas meyakinkan suku Sukus bahwa mata uang kertas akan sangat membantu membuat perekonomian mereka efisien.
Dan untuk kepentingan itu, sebuah institusi bernama bank perlu didirikan. Bank akan menyimpan deposit koin emas mereka yang menganggur (idle). Lalu uang deposan ini –sebagai taktik, ya hanya sekedar taktik- bisa dipinjamkan kepada anggota suku lainnya yang memerlukan. Dengan demikian, kesannya semua sumber daya yang ada menjadi optimal karena dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif.
Suku Sukus yang terkenal suka membantu, sangat impresif dengan ide itu. Mereka piker, lembaga ini sangat luar biasa karena bisa melanjutkan tradisi mereka untuk membantu orang lain. Jadilah ide itu diamini dan dilanjutkan dengan mendirikan bangunan yang difungsikan sebagai bank yang pertama di pulau Aya.
Upacara pembukaan perdana Bank Aya, sebut aja begitu, sangatmeriah. Orang sepulau tumplek blek jadi satu merayakan hari bersejarah itu. Sebagian besar dari mereka sudah membawa koin-koin emas yang selama ini hanya disimpan di bawah bantal. Setiap satu koin emas yang mereka simpan , merekan mendapatkan ganti uang kertas dengan haminan bila sewaktu-waktu mereka menghendaki, mereka bisa menukarkan kembali uang kertas yang saat itu mereka terima dengan koin emas yang pernah mereka simpan.
Hamper semua anggota suku Sukus menyimpan koin emas mereka di bank Aya. Sejumlah 100.000 lembar uang kertas doserahkan, yang berarti bank Aya –yang dimotori Gago dan Sago- menerima 100.000 koin emas. Tak terasa, akhirnya pemduduk negeri pulau Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan dengan menggunakan uang kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauhlebih simple dan nyaman.
Praktis semakin jarang orang yang menggunakan koin emas dalam transaksi sehari-hari. Sampai akhirnya uang kertas menjadi mata uang dominan. Kenapa mereka begitu? Karena selain memudahkan transaksi, mereka juga dengan mudah menukarkan uang kertas mereka dengan koin emas jika mereka memerlukan. Gago dan Sago sangat menjaga kepercayaan. Setiap kali ada yang mau menukarkan, kali itu juga koin emas diberikan. Demikian seterusnya sehingga lama-lama orang tidak khawatir dengan uang kertas miiknya. Toh kalau mereka mau, mereka bisa menukarkannya sepanjang waktu.
Perkembangan initernyata menjadi berita di mana-mana. Suku Tukus yang mendiami pulau Baya, diam-diam memuji dan ingin sekali praktik yang sama juga diterapkan di pulau mereka. Bayangkan, dari semula melakukan jual-beli dengan cara barter, tiba-tiba ada system supercanggih yang bisa membantu mereka melakukan transaksi dengan sangat mudah dan efisien.
Tak sabar, mereka mengutus duta menemui Gago dan Sago. Mereka minta agar system yang mereka bawa juga bisa diterapkan di pulau Baya. Gago menyanggupi.dia meminta Sago untuk membuka cabang bank Aya di pulau Baya dan mengangkat Sago sebagai manajernya.hanya bedanya, di sini hanya sedikit pendudknya yang memiliki koin emas.
“Anda tidak perlu kecil hati” kata Sago menghibur. “tanpa koin emas pun Anda bisa mengenyam kenikmatan sebagaimana tetangga pulau Anda,” dia bermanis-manis menerangkan. Tentu saja keterangan ini disambut gembira oleh penduduk pulau Baya.
Aha ! Sago betul-betul agen kami yang cemerlang. Otak bulusnya benar-benar tidak menyimpang dari program yang sudah kami tanamkan;keserakahan.
Begitulah. Mulailah Sago membagikan uang kertas. Ada 100 kepala keluarga di pulau itu. Setiap kepala keluarga diberikan 1000 lembar uang. Jadi total uang yang tersirkulasi di pulau itu mencapai 100.000. “karena Anda tidak menyimpan koin emas seperti halnya penduduk pulau seberang, sebagai gantinya, Anda bisa menggunakan uang yang telah saya bagikan.”
Apa yang dikatakan Sago itu disambut dengan senang. Tepuk tangan riuh membahana. Mea reka bersyukur, sebentar lagi mereka tidak akan sekolot dan seprimitif tempo hari. Namun, kemeriahan itu sempat hening ketika Sago menyela, “Harap diingat. Uang yang saya bagikan tadi tidak gratis. Ini adalah pinjaman. Nanti setelah setahun dari saat ini, anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan”
“kenapa harus ada tambahan 100? Kenapa tidak mengembalikan sejumlah yang kami pinjam?” seorang pemuka suku Tukus menyela.
“betul anda memang hanya meminjam 1000. Yang 100 itu adalah untuk membayar jasa yang kami sediakan,” Sago dengan senyum lepas menjelaskan. Penjelasan brilian ! kami turut puas mendengar sago. Meski ada yang mengganjal, penjelasan Sago cukup tepat untuk membungkam naluri kritis warga Tukus. Itu terlihat dari tak surutnya minat warga Tukus untuk mengambil tawaran Sago. Paling tidak, mereka bia merasakan mudahnya transaksi dengan uang kertas. Yang leebih penting,menikmati status sebagai warga dunia baru. Modern dan prestisius.
Setelah sekian lama, dua agen kami itu mulai memainkan kartu truf. Dari pengamatan Gago, di pulau Aya, rata-rata hanya sekitar 10 persen uang kertas yang ditukarkan ke koin emas. Sisanya, 90 persen tetap berada di kotak penyimpanan di bank Aya. Mencermati bahwa uang kertas mereka sudah merajai alat tukar, kami pun tergelak.
“hai Gago, kena tidak kau cetak uang lagi ? bukankah hanya sedikit dari mereka yang menukarkan uang kertasnya dengan koin emas ? bukankah kau bisa meraup untung luar biasa dengan cara ini? Ayolah kawan, tunjukkan otak cerdasmu, “begitu kami tak henti menggelitiki Gago.
Dan benar, Gago memang agen kamiyang jempolan. Ia lalu mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung hingga 900.000. dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah jumlah uang kertas yang telah dibagikan sebelumnya, totalnya 1.000.000. kalau ada orang yang datang hendak menukarkan uang kertas ini, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah hanya 10 persen saja. Nah, kalau ini yang terjadi, bukankah ia menyimpan 100.000 koin emas, yang tidak lain adalah koin yang terlah disetor oleh seluruh penduduk Sukus? Kalau hitung-hitungan pahit itu benar-benar terjadi, bukankah cadangan koin emas yang diperlukan sudah cukup ?
Fantastic ! creating money from nothing ! menciptakan uang dari kekosongan. Hanya orang-orang seperti Gago, kawan kami, yang bisa. Begitulah. Akal bulus Gago bergerak. Ia pinjamkan 900.000 uang kertas yang baru dicetaknya kepada warga Sukus yang memerlukan. Kalau di pulau Baya, Sago mengutip tambahan ekstra sebesar 10 persen dari pokok, nah Gago meningkatkan kutipan hingga 15 persen. Artinya kalu seseorang meminjam 1000 lembar uang kertas, di akhir tahun ia harus mengmbalikan 1150 uang kertas, di mana 150-nya adalah charge dari layanan yang diberikan.
Hari pun berganti. Bulan begitu cepat. Tak terasa setahun pun lewat. Apa yang terjadi dengan suku Tukus dan Sukus? Pelan tapi pasti, penduduk pulau aya merasakan harga-harga kebutuhan barang dan jasa mereka naik. Mereka tidak tahu apa penyebabnya. Banyak di antara orang yang meminjam uang dari Gago itu mengalami gagal bayar. Mereka bukan orang pemalas atau penganggur. Tapi meski telah bekerja keras, mereka msih kesulitasn melunasi utang berikut bunganya. Dan mereka memang tidak akan pernah bisa. Bahkan ketika mereka menjadikan 24 jam untuk bekerja. Lihat lah, uang yabg dipinjamkan 900.000 bila ditambah buga 15 persen, berarti senilai 135.000 atau jumlah otal mencapai 1.135.000. padahal, jumlah uang yang beredar hanya 1.000.000 (100.000 diberikan sebagai ganti 100.000 keping koin emas, ditambah uang baru 900.000 yang dicetak Gago).
Dan inilah panen raya yang kami tunggu. Kesuksesan Gago dan Sago. Kami sebut begitu, karena system yang dikenalkan dua agen top kami itu lah yang pertamakali mengubah watak bisnis kekeluargaan menjadi bisnis indibidual kompetitif. Kehidupan social mereka yang harmonis, penuh toleransi dan tolong-menolong, perlahan luntur. Masing-masing kepala –apalagi yang berhutang- harus bekerja keras demi mengejar uang untuk melunasi kewajibannya. Sehingga, katika ada ombak besar yang menyapu sebagian rumah penduduk, kebiasaan mereka untuk saling bantu luntur. Prinsip saling membantu berubah menjadi time is money. Membantu orang boleh, tapi harus ada kompensasi;uang. Sisi kehidupan social yang akrab perlahan berubah individual. Masing-masing mulai terbebani untuk berusaha keras demi kepentingan masing-masing. Sungguh perubahan yang sulit kami capai sendiri, bila tanpa dua kaki tangan kami si Gago dan Sago.
Hal yang sama pun dialami oleh suku Tukus. Awalnya mereka tidak menyadari. Namun, lambat laun mereka merasakan perubahan. Kebutuhan pokok yang dulunya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau sebaliknya, kini mulai sedikit bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa terasa, dengan berlalunya waktu, harga-harga terus merambat naik. Padahal, mereka telah membanting tulang dan bekerja lebih keras. Kerjasama antar yang semula menjadi tradisi, lama-kelamaan juga mulai luntur.mereka menjadi egois, diburu kebutuhan masing-masing. Toh diakhir tahun tidak semua bisa membayar kewajibannya. Seperti dialami suku Sukus, suku Tukus pun anggotanya banyak yang default alias gagl bayar.
Melihat perkembangan ini, kami di dunia setan pun bersuka-ria. Betapa tidak, di mana kerakusan menjadi idiologi, di situ lah singgasana kami dibangun. Karena itu, kami pun semakin rajin membisiki Gago dan Sago untuk tidak hanya berhenti di sini saja.
Gago dan Sago memang sangat impresif, mereka adalah ciptaan jenius. Terbukti ketika mereka melancarkan dua trik lanjutan untuk memanangkan keadaan. Kepada para penunggak sebagian ada yang dipaksa membayar. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak, dan maupun harta benda lainnya pun segera berpindah tuan. Sementara penunggak yang mempunyai hubungan baik dengan Sago dan Gago diberi kesempatan untuk memperpanjang masa angsura. Kebetulan Taka, pimpinan suku Tukus, salah seorang diantara penunggak. Maka atas nama “kebaikan hati” Sago bukan saja memberikan tambahan waktu menggangsur utang, tapi juga memberikan tambahan utang baru. Kenapa ? dia beralasan utang ini biar bisa dipakai untuk melancarkan kegiatan produktifnya. Namun alih-alih bisa membayar periode berikutnya, Taka kembali tak bisa melunasi utangnya.
Malu karena tak bisa membayar kewajibannya, Taka menarik diri dan menghindaru bertemu dengan Sago. Ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Kewibawaannya sebagai kepala sukuTukus berbalik ke titik nadir. Sementara, Sago yang semula berlagak membantu, kini tinggal melakukan eksekusi. Ia semakin kaya. Ia pun berubah layaknya tuan besar. Ha..ha…ha…
Setelah beberapa tahun berselang, Gago dan Sago yang semula datang ke Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang, kini telah menjadi pemilik hamper semua kekayaan di dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi dan property. Lambat laun, dengan uang, mereka pun beroleh kekuasaan baru; menguasai politik negeri itu.
Sementara masyarakat dua pulau itu tinggalah sebagai pekerja kasar. Kemiskinan tiba-tiba menjadi endemic yang terus menyebar cepat. Mereka bekerja keras, untuk hasil yang sedikit. Mereka kehilangan waktu untuk saudara dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan. Labih parah lagi, mereka semakin tidak perhatian satu sama lain.
Kejahatan yang semula hanyalah cerita yang sering mereka dengar dari negeri antah berantah, kini menghampiri; marak di depan hidung mereka sendiri. Karena tidak bisa bayar utang, mereka mengorbankan anak dan bahkan istrinya untuk diperbudak. Prostitusi yang semula begitu tabu bagi mereka, seperti menjadi budaya baru. Semua budaya yang datang dari Gago dan Sago, dianggap superior. Budaya local punlambat laun punah. Gago dan Sago telah menguasai semua, tak ada yang tersisa; ekonomi, budaya, kekuasaan dan keadilan yang bisa mereka beli melalui uang.
Namun ini bukan akhir dari petualangan mereka. Masih banyak pulau-pulau lain yang perlu “dimodernkan”.
Namun mereka akhir-akhir ini ketakutan. Ada segolongan orang minoritas yang dengan berani mengatakan “ mari kita terapkan Qur’an dan Sunnah di seluruh sendi kehidupan”. Mereka yang meneriakkan itu adalah orang-orang yang sudah paham dengan sepak terjang Gago dan Sago, serta anak buahnya.

Tidak ada komentar: