Rabu, 22 Desember 2010

Bedah Mahasiswa…

Instruksi awal; lavarotomi. Diinseksi ketika diberitakan ahmadinejad sedang menyiapkan pasukan menghadapi USA yang nakal, padahal program nukllir Iran dalam kategori damai. Ketika Ahmadinejad tetap semangat berjuang saat Zionis sudah tak betah hanya mengintai dan bermaksud untuk memisahkan antara ruh dan jasadnya. Saat skandal keong racun yang ingin disebut keong mas. Banjarmasin yang menjadi selimut tidurnya malam ini. Zayed yang terkejut ternyata hari ini dia ulangtahun (gara-gara ditelphone bunda tercinta pagi-pagi dan ledakan notif di fb, termasuk hp yang tiada hentinya berbunyi dari tengah malam *nagih traktiran), karena kepalanya sedang dibuat penuh oleh proyek-proyek dan energinya terkuras untuk meng-aspal jalan ke syurga. Note ini mengawali detik-detik awal ke-19-tahunannya. Sebuah ocehan ringan, special untuk Zayed. Biar dia sadar, dia cuma mahasiswa manja…
Katanya mahasiswa…
Kita bicara tentang seluk-beluk maha, menyusuri jalan-jalan tikus substansi dasar,dari A sampai Z. Namun, disini bukan sistematika laporan ilmiah yang di awali dengan definisi,lalu pengertian dan kadang diakhiri contoh-contoh kemudian ditutup dengan senyum manis oleh yang namanya kesimpulan. Tidak teman. Mari kita pertemukan antara idealitas dan realitas agar terlihat siapa yang lebih mencolok. Supaya mereka bisa bicara satu sama lain tentang suatu kata, maha.
Sudah terkenal dari ujung timur sampai ujung barat, bahwa apa yang disebut maha mempunyai sifat kata yang diikutinya menjadi lebih tinggi bahkan paling tinggi maknanya. Maharaja, rajanya para raja. Mahadewa, dewanya para dewa. Begitu pula yang disandang oleh para mahasiswa. Sebuah maha yang mempunyai nilai tersendiri dalam social-kultural suatu masyarakat. Tentunya menjadi siswa di atas siswa-siswa biasa, penuntut ilmu di atas penuntut-penuntut ilmu yang lain.
Karena ke-maha-annya, mereka yang disebut mahasiswa dikenal sebagai orang-orang yang mampu untuk berpikir lebih matang dan mampu membaca setiap peluang kemajuan yang kadang tertutupi oleh kabut setiap peristiwa. Mereka yang sebenarnya menjadi barisan terdepan para intelektual, semakin lengkap ke-maha-annya ketika daya kritis dan rasional yang melekat ditambahkan dengan luar biasanya semangat dan usia muda mereka. Suatu campuran sifat yang luar biasa. Campuran yang mampu menghasilkan reaksi ledakan perubahan dan kemajuan yang luar biasa. Apalagi dikatalisis oleh keomanan yang mengakar pada jiwa yang subur.
Ketika melihat ke belakang dan menengok kembali sejarah yang sudah berdebu. Tak ada yang bisa menyangkal. Di balik semua perubahan yang fenomenal, pasti ada para promotor. Tentu yang menjadi promotor adalah mereka yang mempunyai kemampuan memahami keadaan secara holistic, memikirkannya dan dengan objektif menilai apakah sudah di jalan yang benar atau di jalan yang berselimut kebaikan semu. Mereka ini lah para pemuda yang menyandang predikat mahasiswa. Dengan segala pengetahuan, kekritisan, kreatifitas, inovasi dan keberanian mampu mendobrakan kebiasaan yang sudah mengakar, tentu kebiasaan yang perlu dirubah agar menjadi kebiasaan yang sejalur dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Satu konsep yang ada dipikiran saya saat ini, tidak semua kewajaran dan kebenaran yang dipahami oleh masyarakat umum itu benar dan baik.
Tak jarang, istilah agent of change sangat identik dengan mahasiswa. Dengan segala fakta yang sudah diperlihatkan dengan malu-malu oleh sejarah, mahasiswa lah yang menjadi titik awal perubahan itu. Yang paling fenomenal adalah ketika aksi massal yang dilakukan dalam proses reformasi 1998. Sudah terbukti oleh rentetan waktu, dengan segala kelabilan emosi dan dengan rasional yang kritis, di tambah dengan keberanian yang menyala-nyala, terjadi lah aksi dan lagi-lagi mahasiswa sebagai aktornya.
Rasionalitas yang sudah teruji karena jenjang penuntutan ilmu dan penajaman rasional yang sudah didapat selama menuntut ilmu, dari masih mengenakan seragam sampai berteriak-teriak di jalan ketika membenturkan antara teoritis dan fakta. Rasionalitas yang sudah cukup untuk diperhitungkan sebagai landasan berpikir dalam membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Rasionalitas yang di emban mahasiswa ini tentu bukan tingkatan rasionalitas biasa karena rasionalitas ini juga dibalut dengan idealisme dan keberanian dalam meneriakkannya, walau kebobrokan yang di depan matanya itu setiap saat bisa menghilangkan jiwanya dan melukai perjuangannya.
Itu lah mahasiswa. Diberi gelar agent of change, diakui memiliki rasionalitas matang, idealisme dan keberanian dalam meneriakkannya. Katanya.
Ya, katanya.
Miris memang ketika melihat faktanya langsung, ketika melihat langsung sikap sebenarnya ke-maha-an dari mahasiswa ini. Iya sih, memang ada juga yang benar-benar menunjukan sikap ke-maha-annya sebagai mahasiswa. Tapi sayangnya, kebanyakan bahkan hampir semuanya malah paradox. Begitu lah faktanya. Bener.
Kalau dulu memang pantas untuk di beri gelar sebagai agent of change, sekarang oknum tersebut malah ketawa-ketawa dengan istilah agent of change tersebut. Alah, mahasiswa ya mahasiswa. Biarin aja kayak gini, mau dirubah jadi kayak gimana kebobrokan yang ada. Wong yang tua nya aja kayak gitu, kita ini cukup mengamini statement istilah yang muda yang dipandang sebelah mata. Agent of change ? alah, nikmati aja hidup sebagai mahasiswa. Perubahan biarin orang yang lebih tua memikirkan. Kita mending pikirin gimana kuliah yang bener, IPK tinggi dan dapat kerja, gampang kan.
Biarkan maha itu tetap melekat dimahasiswa. Wong ada aja tuh beberapa mahasiswa yang tetap eksis dalam kekritisan dan keberaniannya. Entar kan semua mahasiswa ketiban eksisnya sebagai agent of change. Faktanya, kan kita mending merefreshkan otak ini sambil dugem-dugem di diskotik. Ngapain bicara revolusi, ngapain bicara perubahan selama keadaan sekarang kita ok-ok aja tuh.
Alah rasionalitas. Biarin diktat-diktat dari dosen yang mengasah logika ini. Biarin soal-soal test yang menguji seberapa tajam analisis dan daya kritis kita. Ngapain ngurusin fakta yang sudah bobrok, bobrok ya biarin aja entar juga baikan. Bobrok itu kan dilakukan oknum-oknum yang sudah berumur. Biarin aja mereka bobrok, mereka juga yang masuk neraka. Gitu kan faktanya, yang penting kita ok-ok aja
Gimana mau ngebela yang benar. Kita aja masih kesulitan menganalisis soal pre-test dan ujian final. Masih terlalu banyak disiplin ilmu kita yang masih perlu kita dalami. Yah, bagaimana mau teriak-teriak membela yang benar, kasusnya aja kita gak tahu. Kan waktu sebagian besar kita gunakan untuk belajar persiapan test atau pendekatan sama doi karena yang tua di rumah katanya sudah pengen gendong cucu. Biarin, faktanya kan sudah jelas kalau kita ini memang bukan agent of change. Kita yang sudah mewarnai jalan-jalan dengan adegan bermesraan agar dunia tahu bahwa cinta akan mendamaikan semua kondisi. Ngapain perubahan, wong ketika kita boncengan adem-adem aja tuh jalan.
Kita memang gak bisa berpaling dari fakta. Udahm ngapain ngebahas masalah revolusi, ngapain bicara perubahan dan buat apa ngebahas transformasi. Kita gak ada waktu ngurus yang kayak gituan, mumpung jadi mahasiswa mending manfaatkan jatah bulanan untuk nonton di bioskop sambil membelai tangan si doi. Mumpung jatah bulanan tingginya kayak gaji pegawai negeri, mubazir klo gak di habiskan,eh, entar bulan depan jatah dikurangin gara-gara di tangan masih tersisa. Katanya mahasiswa agent of change, gak betul itu karena kitanya malah senang banget klo nongkrong di diskotik sambil berharap uang bulanan ini cepat habis. Dari pada teriak-teriak di jalanan, udah panas-panasan, tenggorokan kering, bisa kena faringitis, dan ngebuat hitam kulit aja lagi.
Biarin aja mereka yang mau perubahan dan revolusi ada di jalan itu.
Kita kan mahasiswa mending di sini, mumpung punya waktu untuk menghabiskan gaji bulanan dari ortu.

Tidak ada komentar: