Senin, 25 Juli 2011

Memposisikan Nasionalisme

Bismillah



kamis,21 juli 2011. sudah lama rasanya ga bikin ulasan ringan sebelum tidur,ah paling tidak saya merasakan kenikmatan indahnya curhat di depan notebook kesayangan saya,notebook yang biasa disebut mama saya sebagai “pacar saya”. Sedikit berbagi kisah,minimal jadi evaluasi saya hari ini.

Sebenarnya moment menarik bagi saya hari ini adalah ketika semua urusan saya di kampus selesai,ya kira-kira pukul 12.00. setelah menyelesaikan sedikit “urusan” akademik dan beberapa “tender” sekaligus memfixkan dengan koor acara BRBC KSI-A hal-hal mendasarnya. Buruan apa yang menarik ? Saya mendapat undangan diskusi terbuka tentang buku yang berjudul “Banalitas Nasionalisme” diisi oleh penulisnya sendiri yakni Pa Mukhtar Sarman, seorang magister sosiologi pedesaan yang memang berkonsentrasi pada ekonomi lokal,itu terbukti dengan berhasilnya beliau dalam short-course masalah pengembangan sumberdaya ekonomi lokal di IHS Rotterdam,Belanda 2005. beliau juga pernah belajar manajemen infrastruktur di Faculty of Civil Engineering University of Miyazaki.

Setelah shalat dzuhur yang niatnya berjamaah namun tidak. Kok gitu ? Itu lah hal yang paling memalukan di langgar (mushalla) kompleks saya. Saya yang adzan,iqomat,imam termasuk makmum. Alias selalu sendiri. Setelah shalat itu saya langsung meluncur ke banjarmasin lagi. Sangat mengasyikkan klo naik motor ke banjarmasin. Yang pasti saya terhindar macet,pastinya bisa tepat waktu-tepat jadwal. Bisa mengebut,memanjakan instink yang suka balapan ini. Walau pun klo ketahuan orang tua pasti dapat “taujih pedas”.hehehe. Anda tahu sendiri lah gimana nasib anak yang paling tua jika melakukan hal berisiko tinggi. Oleh karena itu solusinya adalah “diam-diam ke bjm”. Karena hal-hal di atas,plus juga karena jadwal saya di bjb-bjm cukup padat (maaf,ga bermaksud sok sibuk lho ya,cuma saya selalu yang menyibukkan diri. Bukan dicari orang,tapi saya yang mencari orang. Coz saya gak mau ditagih hutang,tapi menagih hutang.hehhe *becanda)

di jalan saya sedikit melamunkan apa yang terjadi dalam pembahasan buku nanti. Supaya fokus biasanya saya harus berkonsentrasi sedikit melupakan masalah dakwah di KSI,organisasi-organisasi yang saya pegang,problem di bisnis dan tema proposal KTI. Pejam kan mata, tarik nafas panjang dan bismillah... :). oke saya sudah bisa berkonsentrasi.

Yang terbayang oleh saya: pasti diskusinya panas. Banyak mahasiswa hukum-ekonomi-FISIP yang kritis. Hahahay, I Like It. Kosakatanya juga biasa lah. Paling tidak,saya sudah bisa menikmati betapa hangatnya diskusi itu. Membayangkan mencampuradukkan teori dan hipotesis serta logika yang saya punya dengan pakar-pakar yang ada di sana. Sedikit memanipulasi dan merekayasa jalan pikir agar bisa merangsang pikiran-pikiran orang,lalu target saya adalah terjadinya “ejakulasi dini” loncatan gagasan dari seseorang karena sentuhan erotis emosional. *sedikit ke-sastra-an ya.heheh

to de point aja ya..... tiba lah saya pada ruangan diskusi. Lantai 5 gedung djok mentaya (betul gak sih? Saya agak lupa),yang pasti itu gedung banjarmasinpost.

Di luar dugaan saya.

Jreng.... jreng... jreng...

yang mendominasi malah dosen dan pejabat,bahkan hampir semua. Kecuali beberapa anak manusia dari kampus UNLAM, dengan wajah polosnya duduk dan mulai mempetakan konsep berpikir untuk mengkritisi “Balanitas Nasionalisme”

wah,rata-rata sudah lulus S2. Terlihat banyak orang penting di sini. Banyak tokoh yang sudah tak asing di mata saya,dan yang paling saya akrab adalah Pa Sofwat Hadi,seorang anggota DPD untuk Kal-Sel,yang kemarin nyalon jadi walikota banjarmasin,namun “anda belum beruntung,hehe”. Soalnya saya sering “main” ke rumah beliau di jalan gatot,ya sedikit bertukar pikiran arti sebuah pembangunan dan kesejahteraan,walau pun saya agak malu saat itu coz nginap di rumah beliau. Tak ketinggalan ada dua staf beliau,yang biasa saya panggil “kakak”. Padahal sudah agak tua,mungkin lebih pantas dipanggil om atau abang.hehe yah, sempat cipika-cipiki masalah lucu juga dengan mereka.

Langsun ke kontent curhat saya ya.... ini sebuah alur berpikir dari buku tersebut:

“Banalitas Nasionalisme atau kedangkalan dalam memahami isu nasionalisme adalah sebuah realitas politik yang tersembunyi, dan barangkali sengaja disembunyikan,karena ia merupakan sebuah fenomena absurd ketika anggota punya tanggung-jawab moral untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi negara bangsanya, namun artifisial yang berorientasi pada upaya memenuhi kebutuhan pribadinya yang tidak pernah cukup. Banyak contoh banalitas nasionalisme. Celakanya,begitu banyak pula orang yang tidak sadar bahwa dirinya adalah penghamba kedangka;an tersebut. Dan di buku ini,mencoba memetakan banalitas nasionalisme yang relevan dengan kondisi aktual bangsa Indonesia masa kini.”

diskusi kali ini sangat menarik. Oh iya lupa, pembicara tambahan ada Pa Kapolda Kal-sel dan seorang Yusran Pare.

Pa Kapolda lebih menitik beratkan solusi agar banalitas itu bisa diselesaikan,yakni dengan adanya teladan para elit politiknya. Bahkan, beliau sangat menganjurkan dibuatnya tokoh. Supaya nilai abstrak dan relatif (biasa lah ilmu sosial, penuh dengan variasi definitif) bisa dikonkritisasi,jadi masyarakat bisa tahu praktisnya. Tidak seperti sekarang,semua mengaku nasionalis. Padahal kelakuan merusak bangsa. Pa Kapolda juga menekankan bahwa, memakai produk dalam negeri tidak selalu manifestasi dari nasionalisme,jika general defenitif dari nasionalisme adalah “cinta bangsa dan tanah air”. Karena perusahaan-perusahaan “asing” itu kadang ada yang pemiliknya warga indonesia dan pekerjanya pun pribumi. Hal ini karena banyak perusahaan asing itu memakai sistem frenchise atau wara-laba, yang diuruskan cuma pembelian “nama dan sistem”.

Nah.... klo Yusran Pare bahasan dan bahasanya lebih SEKSI. Hal yang disampaikan beliau terkait “Banalitas Nazaruddin dan Nasionalisme Ruyati”. Beliau mengaku sedikit tercekat membaca Banalitas Nasionalisme karya Pak Mukhtar ini. Cukup menyentak kembali kesadaran di tengah keriuhrendahan aneka informasi,namun kita mendengungkan nasionalisme lagi. Beliu mengatakan sudah mual-muntah (hayooo,,,,gejala penyakit apa?) terkait nasionalisme karena elit politik yang seharusnya bisa menjadi teladan malah semakin “terbuka” bobroknya. Dari manuver saling caci, saling bakutusuk, saling ancam bahkan itu dilakukan oleh orang-orang yang dulunya “bersahabat” dalam satu partai dan satu koalisi. Untuk membuat sebuah parameter banalitas tersebut,katanya sangat banyak. Nah,beliau lebih menyoroti pada angka investasi pihak asing. Logika beliau, jika banalitas meningkat manifestasinya adalah meningkatnya angka korupsi. Kalimat beliau “ Yang jelas, terdapat korelasi antara peningkatan korupsi Indonesia dengan menurunnya realisasi investasi asing ke Indonesia. Lahat saja, ketika PERC melaporkan peringkat korupsi Indonesia pada urutan yyang lebih buruk di bawah Vietnam,realisasi penanaman modal asing yang tahun sebelumnya tercatat US$ 15,4 miliar langsung anjlok 41,6% menjadi hanya US$ 9 miliar.”

menarik pernyataan rekan sejawat saya (adityawarman ) saat itu, kontentnya “saya melihat bahwa nasionalisme kita bersifat temporer dan emosional. Yang timbul saat-saat momen tertentu, saat “disenggol” Malaysia atau saat pertandingan sepak bola. Semua teriak “garuda di dadaku” dan lain-lain. Tentu -isme seperti tiu tidak bisa membuat sebuah perbaikan dan kemajuan bangsa.... *panjang lagi sebenarnya

statement menarik dari sang moderator” bagaimana dengan nasib Gonzales yang mengalami nasionalisasi.dia bukan asli indonesia, tapi meneriakkan garuda di dadaku? Relevan kan dengan Banalitas nasionalisme....

ada juga daripihak lain terkait; hubungan nasionalisme dengan pluralisme, memposisikan kapitalisme, romantisme histori yang dibalut nasionalisme.... wah pokoknya asik deh, bisa sedikit mengasah nalar...

yang saya sayangkan saya belum sempat ngomong. Udah angkat tangan tinggi-tinggi,tetap aja ga dapat kesempata.... mungkin kami memperkenalkan diri dari kedokteran sih, mungkin moderator takut nantinya logika berpikir kami tidak relevan dengan kontekstualitas nasinalisme yang mereka bahas,yang memang pada notabenenya berbasis pada ekonomi-hukum-ilmu sosial. Nah,di sini saya membuktikan arti sebuah relativitas. Gak selamanya mahasiswa kedokteran itu membanggakan. Mungkin moderator cuma memahami bahwa mahasiswa kedokteran itu kerjaannya cuma “melihat bakteri loncat-loncat, nyuntik, bermain dengan mayat dan kerjaannya motong daging”wkwkwkwk

yang pengen saya sampaikan sebenarnya cukup substansiil...

“ menanggapi statement anda,pa Mukhtar. Kerusakan dan kebobrokan sekarang diakibatkan oleh balanitas nasionalisme. Yang dalam definisi anda adalah kedangkalan dalam memahami substansi nasionalisme. Walau pun anda mengakui sendiri bahwa nasionalisme itu terlalu abstrak dan relativitasnya tinggi. Nah,jika kita melihat nasionalisme sebagai ideologi (walaupun agak sulit menggunakan statement ini,terkait apakah tepat nasionalisme sebagai ideologi definitif). Sebagai seorang yang berlogika dominan eksakta dan empiris. Maka saya membagi tataran praktis nasionalisme menjadi : ajaran nasionalisme,tokoh dan efeknya. Semua ideologi,tanpa terkecuali, saya yakin mempunyai efek atau tujuan yang baik, pasti menginginkan kesejahteraan dan kemakmuar (ya tentu dengan definisi ideologinya masing-masing). Lalu tokohnya, tentunya di tokoh yang hebat dan kuat,apapun ideologinya akan menciptakan tujuan ideologi yang ideal pula. Hal itu terlihat pada fakta sejarah, sosialisme-komunisme pernah jaya,kapitalisme-demokratis juga jaya, ideologi islam pun pernah jaya. Lalu saya akan “membahas” substansi ajaran -isme nya. Tentu kita menyadari,secara ekonomi definitif, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kepentingan. Semua orang,pasti itu. Tentunya juga berpengaruh terhadap ideologi yang dia ambil. Tentunya,ideologi yang dia ambil adalah ideologi yang memenuhi kepentingannya,sehingga dia definisikan sebagai ideologi yang penting. Terlepas nantinya apakah ideologi itu mensejahterakan dia atau belum. Karena kita bicara netral (*kondisi yang tidak adil,menurut saya dalam hati). Ambil contoh ideologi teokratif (yang bersumber pada ajaran agama). Jika seseorang berpolitik-ekonomi-hukum-ilmu sosial sesuai ajaran itu,mereka akan mendapatkan pahala. Tidak peduli nanti bisa sejahtera atau tidak (tentunya semua ideologi bertujuan sejahtera),tentunya dengan pahala akan diganjar syurga. Itu sebuah “daya tarik” ideologi teokratif,sehingga peluang munculnya Balanitas sangat minim. Lalu saya akan melogikakan dengan Nasionalisme ? Jika ideologi itu diterapkan,apa yang pengembannya dapat ? Jika konteksnya indonesia, nasionalisme bisa ngasih apa? Tujuan nya untuk sejahtera saya tidak tercapai ? Tokoh-tokohnya mana ? (sebenarnya saya ingin mengganti istilah ideologi teokratif dengan ideologi islam pada diskusi ini,namun supaya “mereka” tidak berpikir macam-macam dengan saya. Ya saya cukup menggunakan istilah “smooth” itu)”

hahahay... saya pikir anda sudah bisa menerka apa pola pikir saya beberapa paragraf ke depan. Ya, sedikit cipika-cipiki antara nasionalisme dan islamisme. Logika awal, pahamilah nasionalisme dalam konteks islamisme. Artinya islmisme di atas nasionalisme, dan islamisme lah yang memberi definisi serta arahan (memang seperti itu seharusnya, dalam kaidah hukum Indonesia sendiri bahwa hukum yang lebih tinggi akan mengatur pola penjelasan hukum di bawahnya,bukan kah islmisme merupakan manifestasi hukum Yang MahaTinggi). Jangan sebaliknya ya, seperti Siti MM,seorang aktivis JIL. Terkait islam yang harus menyesuaikan dengan UUD45 dan pancasila, sehingga atas nama ke-bhineka-an dia “menghalalkan” homoseksual dan pornoaksi (*semoga cepat tobat bu)

selanjutnya, islam memerintahkan untuk memakmurkan tanah air kita dan membuatnya sejahtera. Cinta kepada tanah air pun bukan hal yang salah,bahkan dianjurkan, lalu adanya dalil seberapa pentingnya kita membela tanah air jika tanah air kita dijajah. Lalu,mungkin kebanyakan orang berpendapat bahwa islam hanya merenggut dan menodai nasionalisme. Bahkan katanya,islam mengharamkan nasionalisme ??? betul begitu??? lalu nasionalisme apa yang diharamkan islam yang rahmatn lil 'alamien ini??? jangan buru-buru menyimpulkan saudaraku.

(wah bahasan agak berat nih,jadi mesti hati-hati. Saya coba dengan bahasa paling sederhana yang saya bisa). Pada dasarnya islam sangat menganjurkan cinta kepada tanah air. Islam begitu mendorong agar terbentuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Yang islam takutkan, ketika kecintaan kepada bangsa itu berlebihan sehingga melupakan kecintaannya kepada islam. Manifestasinya seperti percekcokan antar bangsa padahal sama-sama muslim, adanya negara muslim satu yang “sangat”mapan sedang di sisi lain ada yang “sangat” miskin,egoisitas bangsa yang berlebihan, hanya memikirkan bangsanya dan tidak mau berbagi antar bangsa muslim. Sehingga, islam cukup menghindari yang namanya nasionalisme. Sekali lagi,tak ada masalah dengan mencintai bangsa. Bermasalahnya dengan nasionalisme,karena nasionalisme identik dengan “kecintaan buta', yang katanya gara-gara cinta “tahi kucing” pun rasa “MAGNUM ice cream”. Islam menginginkan kemajuan dan kesejahteraan sebuah peradaban, bukan hanya sebuah bangsa. Ini lah, rahmatan lil 'ALAMiin. Betul-betul untuk sekalian alam. Tentunya bahasan ini sangat tergantung dengan definidi nasionalisme,celakanya dafinisi itu yang sangat bervariasi. Saya rasa anda lebih paham. Betul begitu?



Dua agenda saya setelahnya; konsul perkembangan dakwah dan KSIA ke tempat dr. Siti Wasilah, lalu ada sedikit transaksi bisnis dengan kolega saya di ZeenStudio.... selesai

***



saya rasa cukup ya, saya juga sudah ngantuk seharian penuh dengan jadwal. Ta gak apa lah, kata Imam Ahmad istirahatnya seorang muslim itu ketika kakinya menginjakkan syurga.membahas ini, Saya teringat masa-masa krusial saya di kelas 3 SMA. Waktu itu,Bapak saya menganjurkan saya masuk Fakultas Ekonomi dan Ibu saya menganjurkan ke Fakultas Hukum. Bapak saya rekomendasikan ke UI dan Ibu ke UNDIP. Saat itu argumentasi merela cukup kuat, keputusannya saya hanya mendaftar SIMAK UI dan tak ada yang lain. Bapak saya selalu bilang, untuk merubah hal yang besar seperi bangsa dan dunia, ilmu yang diperlukan adalah Ekonomi-Hukum-Politik. Cukup itu katanya yakin. Dengan itu kita bisa mengatur “anak-anak IPA”. Hari ini seakan-akan saya membuktikan ucapan itu lagi. Namun saya sadar,saya beruntung masuk kedokteran (gara-gara pilihan SNMPTN),yang notebenenya adalah hasil perkawinan antara ilmu sosial-ilmu pengetahuan alam. Kedokteran adalah sebuah seni. Saat filsafat metafisik kawin dengan logika rasional empiris. Ambil contoh dalam farmakologi, dalam textbook kita hanya mengenal farmakokinetik dan farmakodinamik, yang merupakan bahasan komplek sebuah sistem biokimia,patofisiologi dan fisiologi. Namun sebenarnya kita juga mengenal (kalau saya boleh membuat istilah), farmakoekonomi dan farmakososial, terkait pemilihan obat bergantung keadaan-keadaan ekonomi dan sosial.... wahhhh jadi panjang lagi nih. Cukup aja deh. Biasa klo orang insomnia curhat, malam kayak jadi siang euy...



terakhir, 3 buku yang cukup mempengaruhi tulisan saya kali ini:

1. Banalitas Nasionalisme;Sebuah Renungan Untuk Indonesia

2. The Making of Religion

3. Politik Partai;Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam

karya-karya Agus Mustafa saya rasa cukup empuk untuk disantap juga :) :) :)



INI CERITAKU, MANA CERITAMU?



* dari seseorang yang sangat berharap bisa tidur cepat dan ingin anda tidak menjadi “Kuli-Kuli berjas putih atau Buruh-buruh berdasi”, besarkan jiwa anda :)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Buku Bagus, ulasan bagus. Trimakasih.