Rabu, 04 Januari 2012

Biarkan bunga itu,mekar pada waktunya

Bismillah…

Aku…
Bila tiba waktuku…
Kuingin tak seorang pun mengganggu…
Tak juga kau…
(Chairil Anwar)

Kadang kata dan bahasa tak bisa menjelaskan semuanya. Iya, tidak selalu. Walau kita sadar, susunan kata bisa “menggambarkan” apa yang kita pikir dan rasa. Sepenggal puisi di atas,mungkin tak seratus persen menggambarkan apa yang ingin saya sampaikan, Cuma menegaskan mungkin itu yang cukup mewakili. Dan satu hal lagi, kata dan bahasa tak selalu netral. Di balik susunan huruf yang tulus untuk menampilkan kata,ada kepentingan yang turut menungganginya. Walau, netral itu tak selalu tepat. Karena kepentingan yang benar dan baik pun,perlu mewarnai kata dan bahasa.

“Ajarkanlah sastra kepada anakmu, agar dia yang pengecut menjadi pemberani” tutur Umar bin khattab. Perkataannya bukanlah sumber hukum,karena memang bukan standar. Tapi, cukup menginspirasi,cukup memberikan nuansa dalam kejenuhan kita. Cukup “nendang” dalam kejumudan kita dalam memandang universalitas islam. Bahwa ada sisi-sisi manusiawi dalam diri sahabat,yang mungkin dengan malu-malu untuk kita pelajari. Ya, tentang kata dan bahasa. Yang dari keduanya, bertemu dan kawin,lalu darinya melahirkan “makna”.

Hanya ingin menyampaikan, kata-kata tersusun berdasarkan tata bahasa. Tata bahasa yang ada memberikan “rasa” dalam susunan kata, sehingga muncul makna yang bisa menampilkan maksud pikiran dan maksud perasaan…

Dan, kata yang tersusun berdasarkan metodologi tata bahasa, tetap memerlukan bahan dan inspirasi tentang apa yang akan dikatakan. Bahan dan inspirasi itu, yakni tentang fenomena kehidupan, baik tentang hal-hal fisik material maupun interaksi hal-hal fisik material itu. Sederhananya jika kita bicara contoh fisik material itu adalah manusia,maka kita mencari bahan dan inspirasi dari anatomi manusia itu sendiri dan interaksi antar manusia. Benda dan interaksi antar benda, itulah yang menjadi bahan dan inspirasi dari apa yang akan kita “kata-kata” kan. Dan perkara tatabahasa, itu Cuma standar agar makna yang kita sampaikan tetap dan satu persepsi. Inilah yang biasa disebut dengan realibilitas,sebuah ke-istiqomah-an makna.

Sehingga, cara kita mencari bahan dan inspirasi dalam “berkata-kata”,berperan sangat vital mempengaruhi output “kata-kata” yang akan meloncat dari mulut dan tangan kita. Lebih sederhana lagi, kata-kata yang keluar dari mulut dan tangan kita,sangat ditentukan dari “cara kita memandang”.

Dalam gemuruh langkah kaki kita “di jalan ini”. Cara pandang kita,menentukan output kata yang keluar,termasuk mempengaruhi warna dari kata tersebut,kemudian menentukan kearah mana dan berbau seperti apa makna yang akan disampaikan. Mungkin terlalu “memperribet” hal yang sederhana,namun letak kesederhanaan itu kan ada di kompleksitasnya. 

“kita selalu benar dan di luar kita selalu salah”,kadang paradigma ini yang menjadi kacamata kita memandang dunia luar. Sehingga muncul kata “siapa yang mewarnai dan siapa terwarnai”. Ini bukan hal yang salah,dalam konteks lintas keimanan. Namun ketika dalam konteks perbedaan dalam satu “wadah”,maka hal ini kadang menjadikan sekat-sekat dalam satu wadah itu semakin jelas dan tebal. Dan cenderung untuk menghasilkan sikap menyalahkan dan antisocial. Maka, hal itu yang kita sentil sedikit di sini.

Cara pandang tadi,cukup mempengaruhi pola pikir dan pola sikap keseluruhan. Walau tidak selalu,cukup mendominankan reaksi dalam menyikapi realitas kehidupan…

Kita sadari atau tidak,dalam proses kita berinteraksi social. Kita akan mempertemukan cara pandang dan pola sikap kita . ya,mempertemukannya,walau kadang juga sampai membenturkannya. Itu tidak masalah,itulah sunatullah interaksi social. Dalam proses pertemuan fisik dan interaksi itu,dengan otomatis kita saling menilai. Mencoba memahami,itu “seharusnya”. Walau dominan faktanya,mencoba membenarkan apa yang sudah kita sebut dan buat.

Ketika berinteraksi dengan orang yang sama-sama ada di “jalan” ini,kecenderungan kita open-mind. Apalagi di jalan ini dengan “rute perjalanan” yang sama. Maka sangat mudah untuk terbuka dan memandang dengan jernih. Entah mengapa,ketika memandang mereka yang di “luar jalan ini”,cenderung dengan pandangan mereka selalu salah. Hanya karena saat kita lihat, dia sedang berbuat salah. Waktu kita memperhatikannya,dia lagi berbuat salah. Cuma itu. Yang perlu kita ketahui,kadang memang berbuat salahnya sangat dominan,namun dalam rentang waktu tertentu ada pola pikir dan tindakannya yang “lebih islami” daripada kita. Namun karena yang bersangkutan dominan berbuat salah,maka kadang cara pandang kita terhadapnya cenderung memvonis,bahwa dia selalu salah.

“karena nila setitik,rusak susu sebelanga…”

Kadang pribahasa ini sedikit tidak adil. Meskipun, tujuan utamanya adalah efek jera yang bersifat preventif.

Pribahasa ini yang semakin membuat jarak,menjauhkan dari sikap “memanusiakan manusia”…. Termasuk memahami sunatullah “saling mewarnai”,tinggal warna itu kita terima atau dihapus.

Rangkaian logika dalam tulisan ini, dari kata,tatabahasa,cara pandang sampai makna. Sederhana namun begitu terasa memaniskan dan memasamkan hubungan social kita. Ya, itu lah realita yang akan selalu kita hadapi.

Dari cara pandang kita terhadap materi dan hubungan antar materi ini,kita akan memilih kata per kata, yang kita pikir itu tepat untuk mewakili pendapat logika dan perasaan,kita susun kata-kata itu sesuai tata-bahasa yang relevan,hingga muncul makna…

Kita ingin, apa pun kata yang keluar, tetap mempunyai makna dan warna “on mission”…
Sepintas lalu…
Tanpa kita pertegas…
Bahwa ajakan kita adalah sebuah paksaan…
Bujuk rayu kita pun adalah paksaan…
Walau kita tidak bermaksud memaksa…
Maka,kebenaran itu akan selalu memaksa…
Ya,memaksa,dengan caranya…
Lalu…
tunggu saja, biarkan bunga itu mekar pada waktunya…

Tidak ada komentar: