Bismillah…
Sudah menjadi statement yang begitu populer, bahwa islam solusi semua masalah. Ya,memang begitu adanya. Hingga sering kita berucap,termasuk saya, apa pun masalahnya maka islam solusinya. Karena itu merupakan realisasi dari islam rahmatan lil ‘alamien. Tak ada yang bisa menyangkal ini.
Belum lagi kita menyebut islam sebagai dien. Yakni sebagai the way of life,bukan sekedar ajaran langit yang mengajarkan kita ibadah ritualitas. Kita memahami ini, bahkan sangat-sangat mengerti. Hingga sekarang dominan ide-ide membawa islam ke pasar-pasar,ke gedung DPR, ke Istana Negara,ke kampus-kampus bahkan sampai ke jalan-jalan. Dan lagi, ini menguatkan bahwa islam sebagai solusi semua masalah yang ada. Tak ada yang bisa menyangkal ini.
Semakin banyak masalah yang dikandung suatu negeri,maka berbanding searah pula dengan tingkat depresi masyarakatnya. Masalah yang ada,semakin membuat mabuk masyarakat,membuatnya gerah dan akhirnya mencari solusi,walau kadang dengan terpaksa. Inilah sisi manusiawi dari kebangkitan. Kadang kebangkitan tidak lahir dari pemahaman,namun malah dipaksa lahir lewat “operasi Caesar” seperti ini. Untungnya, lewat celah sejarah seperti ini, islam datang dengan tawaran sebagai solusi semua masalah. Tingkat “kegalauan” masyarakat yang tinggi -maupun direkayasa supaya galau-,kemudian bertemu dengan kaidah “islam solusi semua masalah”, inilah yang kadang merangsang terjadinya kebangkitan.
Mungkin logika di atas cuma generalisasi,namun fakta sejarah hampir semuanya berbisik seperti itu. Walau pun masih belum bisa dikategorikan sebagai,kebangkitan islam. Namun punya kaidah yang sama. Yakni, ketidaknyamanan yang membuat kebangkitan itu muncul. Dan, di tengah kegalauan lahirnya kebangkitan itu,akan muncul semangat akan kebangkitan ini “segera” terjadi,inilah yang nantinya disebut sebagai revolusi. Ya, revolusi. Sebenarnya mirip dengan evolusi. Namun ada yang membedakannya,yaitu seberapa lama proses “membangkitkannya”. Kalau mau segera,disebut revolusi. Namun ada konsekuensi,yakni ketidaksiapan full system praktis dan eksekutornya. Juga cenderung menghasilkan masa awal yang sangat tidak stabil. Seperti konsep alergi jadinya, “ antigen yang muncul tiba-tiba akan mengundang antibody-antibodi untuk bereaksi,karena belum terbiasa,lalu muncullah gatal”. Kalau mau menunggu, disebut evolusi. Memang akan menghasilkan kebangkitan yang mapan dan cenderung stabil, namun perlu waktu,nah itu masalahnya.
Sampai di sini,kita sudah mempertemuakan konsep,bahwa masalah yang dimiliki masyarakat akan membuat galau. Di tengah kegalauannya,masyarakat perlu solusi. Solusi semua system pernah mewarnai Indonesia, kapitalis-secularism dan sosialis-komunism,namun terbukti kegagalannya. Sekarang bergeliat “islam solusi semua masalah”. Ya, semua sepakat,ketika dibahas dalam persfektif keimanan. Karena itu tuntutan keimanan. Namun mungkin akan muncul keraguan ketika berbicara dalam perspektif lain,yakni persfektif rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Karena fakta sekarang malah Negara-negara eropa dan amerika yang terlihat mapan. Ya,walau pun Cuma “terlihat”. Di sini juga terkuak letak manusiawinya masyarakat kita,bahwa mereka percaya pada hal-hal yang terbukti “saat ini”. Mungkin kalimat tadi adalah bahasa halus dari,pragmatisme. Sehingga, masyarakat kita memang “menerima ide” islam solusi semua masalah,namun tidak mengamalkan islam itu sendiri. Karena sampai saat ini,belum ada bukti “riil dan praktis” tentang konsep islam menyelesaikan masalah.
Ya,belum ada bukti “riil dan praktis” saat ini yang betul-betul nyata. Atau mungkin juga,sudah ada bukti,namun itu belum diekspose dan diketahui masyarakat.
Ada sebuah pertanyaan lucu,ketika seseorang bertanya kepada seorang ustadz. “ustadz, apa solusi islam terhadap krisis ekonomi yang melanda kita ?” –ini pertanyaan sekitar tahun 90-an-. Lalu ustadz berkata, “solusinya ya, sabar dan ikhlas menerimanya”. Memang agak sedikit lucu jawaban ini. Namun, ini jawaban yang benar adanya. Memuaskan dalam perspektif keimanan,namun cukup lucu jika kita lihat dari perspektif rasionalitas dan ilmu pengetahuan… seakan-akan islam tidak memberikan solusi riil dan praktis. Atau juga,kelucuannya terletak pada minimnya pemahaman ustadz tersebut terhadap islam praktis.
Saya pun pernah sedikit tersentak . Saat dapat kuliah marasmus.kwashiorkor dan defisiensi vit A,yang merupakan penyakit-penyakit kekurangan gizi. Ya,saya sadar yang memberikan kuliah dulu seorang kandidat doktor, dalam kajian khusus ilmu gizi. Ketersinggungan itu muncul ketika di sesi diskusi,beliau bilang “mana solusi islam” terhadap kekurangan gizi di Indonesia. Sambil tersenyum selalu mengulang-ulang “mana solusi islam”,lalu bilang “apa itu cuma jargon”…
Jangan putus membaca sampai di sini,karena keseluruhan ide belum tersampaikan.
Kadang,dari hal-hal lucu di atas itu pula. Ada muncul teori yang cukup kontroversial,yakni tentang strategi Negara islam. “bahwa ketika kondisi seperti ini,islam masih dalam tataran ide dan konsep filosofis. Dan kurangnya tenaga professional dan eksekutor dalam menjalankan islam praktis. Maka memberikan embel Negara islam malah akan memberikan kemudharatan bagi islam sendiri. Katanya, islam akan dipermalukan sendiri oleh orang-orang islam yang belum mampu menafsirkan islam menjadi langkah kerja dan karya. Orang-orang islam belum mampu menafsirkan ajaran-ajaran islam menjadi konsep praktis di lapangan. Sehingga kesimpulannya,mari bekerja dengan konsep islam yang dipelajari dan sambil dikembangkan. Terus bekerja merealisasikan nilai-nilai dan ajaran islam, sampai titik yang dirasa mapan,baru dideklarasikan sebagai Negara islam”… sejenak saya berpikir, mungkin ini juga,yang menginspirasi Syafi’i Maarif tentang konsep “garam dan gincu”.
Namun,sebagai seorang muslim,pasti merindukan adanya Negara yang berlandaskan pada ajaran-ajaran islam. Karena memang benar, “islam solusi semua masalah”. Sudah terbukti oleh sejarah, tinggal melakukan kajian terus-menerus tentang islam praktis dan melakukan “timing” kapan waktu yang tepat “meng-eksposenya”, tentunya saat kemampuan dan kapasitas “keislaman kita” sudah betul-betul mampu mengemban embel “Negara islam”.
Yang perlu kita lakukan sebagai mahasiswa adalah, bagaimana menafsirkan ajaran islam ke dalam spesialisasi keilmuan kita,agar kita betul-betul secara riil membuktikan bahwa “islam solusi semua masalah”. Ya, dengan bukti,bukan sekedar propaganda.
Karena kebangkitan islam bukan saat kita “mengingat-ingat kemenangan dulu”, saat kita bilang bahwa “dulu”, khawarizmi menemukan angka nol, ibnu sina sebagai ahli kedokteran, ibnu al-haytsami sebagai ahli optic, ibnul qosim al-zahrawi sebagai ahli bedah, ibnu khaldun sebagai pemikir ekonomi public, dan lain-lain. Karena itu hanya tentang “waktu dulu”,tanpa maksud untuk meremehkan kontribusinya dulu. Hanya untuk menekankan, kebangkitan itu bicara tentang “hari ini dan besok”, lalu membahas islamisasi sains dan teknologi. Sebagai anak kedokteran, kita akan bicara tentang “siapa dokter muslim yang menjadi ahli bedah kromosom, seorang ahli pemetaan genetic dan siapa ahli bedah mikrovaskular”. Ya,lagi-lagi, kebangkitan itu tentang “hari ini dan besok”….
Solusinya, tak ada pilihan lain,selain membentuk mahasiswa berbasis pada kepakaran dan spesialisasi ilmu. Ini merupakan pengejewantahan tentang trias mahasiswa,yakni sebagai the iron stock, the agent of chance dan moral force…. Dan yang pasti, al-qur’an dan sunnah menjadi mind-set dasar dia berpikir dan bertindak, serta syariat menjadi petanya.
Ya, tentang kepakaran dan spesialisasi ilmu, agar kita tidak gagap menafsirkan al-qur’an hingga menjadi program kerja praktis dan karya riil. Karena itu yang menjadi bukti…
Maka,kita bergerak agar negeri ini diatur oleh ajaran-Nya --tentu dengan cara yang prosedural dan sesuai hukum positif-- ,saat itu kita menyiapkan kepakaran dan spesialisasi ilmu kita. Dan pada “titik yang telah dijanjikan”, kita akan maju memimpin negeri ini, dengan percaya diri. Saat itu pula kami berteriak, “inilah Negara islam itu !”
Rabu, 04 Januari 2012
Biarkan bunga itu,mekar pada waktunya
Bismillah…
Aku…
Bila tiba waktuku…
Kuingin tak seorang pun mengganggu…
Tak juga kau…
(Chairil Anwar)
Kadang kata dan bahasa tak bisa menjelaskan semuanya. Iya, tidak selalu. Walau kita sadar, susunan kata bisa “menggambarkan” apa yang kita pikir dan rasa. Sepenggal puisi di atas,mungkin tak seratus persen menggambarkan apa yang ingin saya sampaikan, Cuma menegaskan mungkin itu yang cukup mewakili. Dan satu hal lagi, kata dan bahasa tak selalu netral. Di balik susunan huruf yang tulus untuk menampilkan kata,ada kepentingan yang turut menungganginya. Walau, netral itu tak selalu tepat. Karena kepentingan yang benar dan baik pun,perlu mewarnai kata dan bahasa.
“Ajarkanlah sastra kepada anakmu, agar dia yang pengecut menjadi pemberani” tutur Umar bin khattab. Perkataannya bukanlah sumber hukum,karena memang bukan standar. Tapi, cukup menginspirasi,cukup memberikan nuansa dalam kejenuhan kita. Cukup “nendang” dalam kejumudan kita dalam memandang universalitas islam. Bahwa ada sisi-sisi manusiawi dalam diri sahabat,yang mungkin dengan malu-malu untuk kita pelajari. Ya, tentang kata dan bahasa. Yang dari keduanya, bertemu dan kawin,lalu darinya melahirkan “makna”.
Hanya ingin menyampaikan, kata-kata tersusun berdasarkan tata bahasa. Tata bahasa yang ada memberikan “rasa” dalam susunan kata, sehingga muncul makna yang bisa menampilkan maksud pikiran dan maksud perasaan…
Dan, kata yang tersusun berdasarkan metodologi tata bahasa, tetap memerlukan bahan dan inspirasi tentang apa yang akan dikatakan. Bahan dan inspirasi itu, yakni tentang fenomena kehidupan, baik tentang hal-hal fisik material maupun interaksi hal-hal fisik material itu. Sederhananya jika kita bicara contoh fisik material itu adalah manusia,maka kita mencari bahan dan inspirasi dari anatomi manusia itu sendiri dan interaksi antar manusia. Benda dan interaksi antar benda, itulah yang menjadi bahan dan inspirasi dari apa yang akan kita “kata-kata” kan. Dan perkara tatabahasa, itu Cuma standar agar makna yang kita sampaikan tetap dan satu persepsi. Inilah yang biasa disebut dengan realibilitas,sebuah ke-istiqomah-an makna.
Sehingga, cara kita mencari bahan dan inspirasi dalam “berkata-kata”,berperan sangat vital mempengaruhi output “kata-kata” yang akan meloncat dari mulut dan tangan kita. Lebih sederhana lagi, kata-kata yang keluar dari mulut dan tangan kita,sangat ditentukan dari “cara kita memandang”.
Dalam gemuruh langkah kaki kita “di jalan ini”. Cara pandang kita,menentukan output kata yang keluar,termasuk mempengaruhi warna dari kata tersebut,kemudian menentukan kearah mana dan berbau seperti apa makna yang akan disampaikan. Mungkin terlalu “memperribet” hal yang sederhana,namun letak kesederhanaan itu kan ada di kompleksitasnya.
“kita selalu benar dan di luar kita selalu salah”,kadang paradigma ini yang menjadi kacamata kita memandang dunia luar. Sehingga muncul kata “siapa yang mewarnai dan siapa terwarnai”. Ini bukan hal yang salah,dalam konteks lintas keimanan. Namun ketika dalam konteks perbedaan dalam satu “wadah”,maka hal ini kadang menjadikan sekat-sekat dalam satu wadah itu semakin jelas dan tebal. Dan cenderung untuk menghasilkan sikap menyalahkan dan antisocial. Maka, hal itu yang kita sentil sedikit di sini.
Cara pandang tadi,cukup mempengaruhi pola pikir dan pola sikap keseluruhan. Walau tidak selalu,cukup mendominankan reaksi dalam menyikapi realitas kehidupan…
Kita sadari atau tidak,dalam proses kita berinteraksi social. Kita akan mempertemukan cara pandang dan pola sikap kita . ya,mempertemukannya,walau kadang juga sampai membenturkannya. Itu tidak masalah,itulah sunatullah interaksi social. Dalam proses pertemuan fisik dan interaksi itu,dengan otomatis kita saling menilai. Mencoba memahami,itu “seharusnya”. Walau dominan faktanya,mencoba membenarkan apa yang sudah kita sebut dan buat.
Ketika berinteraksi dengan orang yang sama-sama ada di “jalan” ini,kecenderungan kita open-mind. Apalagi di jalan ini dengan “rute perjalanan” yang sama. Maka sangat mudah untuk terbuka dan memandang dengan jernih. Entah mengapa,ketika memandang mereka yang di “luar jalan ini”,cenderung dengan pandangan mereka selalu salah. Hanya karena saat kita lihat, dia sedang berbuat salah. Waktu kita memperhatikannya,dia lagi berbuat salah. Cuma itu. Yang perlu kita ketahui,kadang memang berbuat salahnya sangat dominan,namun dalam rentang waktu tertentu ada pola pikir dan tindakannya yang “lebih islami” daripada kita. Namun karena yang bersangkutan dominan berbuat salah,maka kadang cara pandang kita terhadapnya cenderung memvonis,bahwa dia selalu salah.
“karena nila setitik,rusak susu sebelanga…”
Kadang pribahasa ini sedikit tidak adil. Meskipun, tujuan utamanya adalah efek jera yang bersifat preventif.
Pribahasa ini yang semakin membuat jarak,menjauhkan dari sikap “memanusiakan manusia”…. Termasuk memahami sunatullah “saling mewarnai”,tinggal warna itu kita terima atau dihapus.
Rangkaian logika dalam tulisan ini, dari kata,tatabahasa,cara pandang sampai makna. Sederhana namun begitu terasa memaniskan dan memasamkan hubungan social kita. Ya, itu lah realita yang akan selalu kita hadapi.
Dari cara pandang kita terhadap materi dan hubungan antar materi ini,kita akan memilih kata per kata, yang kita pikir itu tepat untuk mewakili pendapat logika dan perasaan,kita susun kata-kata itu sesuai tata-bahasa yang relevan,hingga muncul makna…
Kita ingin, apa pun kata yang keluar, tetap mempunyai makna dan warna “on mission”…
Sepintas lalu…
Tanpa kita pertegas…
Bahwa ajakan kita adalah sebuah paksaan…
Bujuk rayu kita pun adalah paksaan…
Walau kita tidak bermaksud memaksa…
Maka,kebenaran itu akan selalu memaksa…
Ya,memaksa,dengan caranya…
Lalu…
tunggu saja, biarkan bunga itu mekar pada waktunya…
Aku…
Bila tiba waktuku…
Kuingin tak seorang pun mengganggu…
Tak juga kau…
(Chairil Anwar)
Kadang kata dan bahasa tak bisa menjelaskan semuanya. Iya, tidak selalu. Walau kita sadar, susunan kata bisa “menggambarkan” apa yang kita pikir dan rasa. Sepenggal puisi di atas,mungkin tak seratus persen menggambarkan apa yang ingin saya sampaikan, Cuma menegaskan mungkin itu yang cukup mewakili. Dan satu hal lagi, kata dan bahasa tak selalu netral. Di balik susunan huruf yang tulus untuk menampilkan kata,ada kepentingan yang turut menungganginya. Walau, netral itu tak selalu tepat. Karena kepentingan yang benar dan baik pun,perlu mewarnai kata dan bahasa.
“Ajarkanlah sastra kepada anakmu, agar dia yang pengecut menjadi pemberani” tutur Umar bin khattab. Perkataannya bukanlah sumber hukum,karena memang bukan standar. Tapi, cukup menginspirasi,cukup memberikan nuansa dalam kejenuhan kita. Cukup “nendang” dalam kejumudan kita dalam memandang universalitas islam. Bahwa ada sisi-sisi manusiawi dalam diri sahabat,yang mungkin dengan malu-malu untuk kita pelajari. Ya, tentang kata dan bahasa. Yang dari keduanya, bertemu dan kawin,lalu darinya melahirkan “makna”.
Hanya ingin menyampaikan, kata-kata tersusun berdasarkan tata bahasa. Tata bahasa yang ada memberikan “rasa” dalam susunan kata, sehingga muncul makna yang bisa menampilkan maksud pikiran dan maksud perasaan…
Dan, kata yang tersusun berdasarkan metodologi tata bahasa, tetap memerlukan bahan dan inspirasi tentang apa yang akan dikatakan. Bahan dan inspirasi itu, yakni tentang fenomena kehidupan, baik tentang hal-hal fisik material maupun interaksi hal-hal fisik material itu. Sederhananya jika kita bicara contoh fisik material itu adalah manusia,maka kita mencari bahan dan inspirasi dari anatomi manusia itu sendiri dan interaksi antar manusia. Benda dan interaksi antar benda, itulah yang menjadi bahan dan inspirasi dari apa yang akan kita “kata-kata” kan. Dan perkara tatabahasa, itu Cuma standar agar makna yang kita sampaikan tetap dan satu persepsi. Inilah yang biasa disebut dengan realibilitas,sebuah ke-istiqomah-an makna.
Sehingga, cara kita mencari bahan dan inspirasi dalam “berkata-kata”,berperan sangat vital mempengaruhi output “kata-kata” yang akan meloncat dari mulut dan tangan kita. Lebih sederhana lagi, kata-kata yang keluar dari mulut dan tangan kita,sangat ditentukan dari “cara kita memandang”.
Dalam gemuruh langkah kaki kita “di jalan ini”. Cara pandang kita,menentukan output kata yang keluar,termasuk mempengaruhi warna dari kata tersebut,kemudian menentukan kearah mana dan berbau seperti apa makna yang akan disampaikan. Mungkin terlalu “memperribet” hal yang sederhana,namun letak kesederhanaan itu kan ada di kompleksitasnya.
“kita selalu benar dan di luar kita selalu salah”,kadang paradigma ini yang menjadi kacamata kita memandang dunia luar. Sehingga muncul kata “siapa yang mewarnai dan siapa terwarnai”. Ini bukan hal yang salah,dalam konteks lintas keimanan. Namun ketika dalam konteks perbedaan dalam satu “wadah”,maka hal ini kadang menjadikan sekat-sekat dalam satu wadah itu semakin jelas dan tebal. Dan cenderung untuk menghasilkan sikap menyalahkan dan antisocial. Maka, hal itu yang kita sentil sedikit di sini.
Cara pandang tadi,cukup mempengaruhi pola pikir dan pola sikap keseluruhan. Walau tidak selalu,cukup mendominankan reaksi dalam menyikapi realitas kehidupan…
Kita sadari atau tidak,dalam proses kita berinteraksi social. Kita akan mempertemukan cara pandang dan pola sikap kita . ya,mempertemukannya,walau kadang juga sampai membenturkannya. Itu tidak masalah,itulah sunatullah interaksi social. Dalam proses pertemuan fisik dan interaksi itu,dengan otomatis kita saling menilai. Mencoba memahami,itu “seharusnya”. Walau dominan faktanya,mencoba membenarkan apa yang sudah kita sebut dan buat.
Ketika berinteraksi dengan orang yang sama-sama ada di “jalan” ini,kecenderungan kita open-mind. Apalagi di jalan ini dengan “rute perjalanan” yang sama. Maka sangat mudah untuk terbuka dan memandang dengan jernih. Entah mengapa,ketika memandang mereka yang di “luar jalan ini”,cenderung dengan pandangan mereka selalu salah. Hanya karena saat kita lihat, dia sedang berbuat salah. Waktu kita memperhatikannya,dia lagi berbuat salah. Cuma itu. Yang perlu kita ketahui,kadang memang berbuat salahnya sangat dominan,namun dalam rentang waktu tertentu ada pola pikir dan tindakannya yang “lebih islami” daripada kita. Namun karena yang bersangkutan dominan berbuat salah,maka kadang cara pandang kita terhadapnya cenderung memvonis,bahwa dia selalu salah.
“karena nila setitik,rusak susu sebelanga…”
Kadang pribahasa ini sedikit tidak adil. Meskipun, tujuan utamanya adalah efek jera yang bersifat preventif.
Pribahasa ini yang semakin membuat jarak,menjauhkan dari sikap “memanusiakan manusia”…. Termasuk memahami sunatullah “saling mewarnai”,tinggal warna itu kita terima atau dihapus.
Rangkaian logika dalam tulisan ini, dari kata,tatabahasa,cara pandang sampai makna. Sederhana namun begitu terasa memaniskan dan memasamkan hubungan social kita. Ya, itu lah realita yang akan selalu kita hadapi.
Dari cara pandang kita terhadap materi dan hubungan antar materi ini,kita akan memilih kata per kata, yang kita pikir itu tepat untuk mewakili pendapat logika dan perasaan,kita susun kata-kata itu sesuai tata-bahasa yang relevan,hingga muncul makna…
Kita ingin, apa pun kata yang keluar, tetap mempunyai makna dan warna “on mission”…
Sepintas lalu…
Tanpa kita pertegas…
Bahwa ajakan kita adalah sebuah paksaan…
Bujuk rayu kita pun adalah paksaan…
Walau kita tidak bermaksud memaksa…
Maka,kebenaran itu akan selalu memaksa…
Ya,memaksa,dengan caranya…
Lalu…
tunggu saja, biarkan bunga itu mekar pada waktunya…
Langganan:
Postingan (Atom)