Kamis, 27 Januari 2011

Tentang Sebuah Rumah...


Bismillah,,,

suatu sore yang tenang. Seorang bapak dengan semangatnya membersihkan halaman. Dia mencangkul dan membersihkan rumput. Dia tebas rumput-rumput nakal yang mulai panjang. Dipotong pula pohon-pohon yang sudah gondrong.Sesekali dia menyela kerigan yang mulai membanjiri bajunya. Otot-ototnya yang besar semakin perkasa ditengah kerasnya cangkulan. Anaknya yang baru berumur 5 tahun tiba-tiba datang.
“ Bapak... !” kira-kira 3 meter dari belakang bapaknya dia berteriak. Di tangannya ada sekantong pentol lengkap dengan saos merah yang sangat banyak.
“ Hei kemari sayang...” jawab bapaknya sambil membalikka badan
anaknya berlari munuju dia.. seperti anak-anak kecil lain yang penuh kemanjaan, dia berlari denga riangnya. Tapi tiba-tiba dia terinjak batu dan “ Brukkk !!!! Creeeet !!!!”. merah lah bajunya yang putih gara-gara tumpahan pentol. Anak itu menangis sejadi-jadinya. Lebih parahnya, kucing-kucing yang ada di sekitarnya tiba-tiba menjilati tumpahan pentol itu.
“ hiiks... Hiks.... tolong tolong !” teriak anak itu dengan keras, sambil menangis.
“ Huuuush hush...” respon bapaknya dengan cepat dan suara keras. Maksudnya untuk menakuti kumpulan kucing itu.
Bapaknya mendekati anak itu dengan cepat. Sambil memasang wajah marah dan teriakan “hush... hush...!!!” untuk menakuti kucing. Bermaksud menambah ketakutan kucing, bapak itu berjalan sambil menenteng cangkul yang siap di tebaskan......
Suasana yang begitu mengerikan : sang bapak mendatangi anaknya dengan penuh kemarahan, teriakan “ hush !!! hush ...!!!” dan cangkul yang siap tebas. Sisi lain, sang anak tergeletak dengan bercak-bercak merah di baju, menangis keras dan teriakan “tolong ! Tolong !...”.
Tiba-tiba..... Ibunya datang dan melihat kondisi seperti itu !!!!!....
Dia berteriak “ Tidaaaaak !!! apa salah anakmu pak !!!! Awas kalau anak itu kau apa-apai !!!”
Jangan buru-buru menyimpulkan saudaraku !
semoga cerita mini di atas bisa menjadi awal ledakan ide di sini. Menjadi renungan pertama sebelum sama-sama mencerna bahan baku ide yang lain. Saya cuma sedikit bercerita tentang sebuah rumah yang kami banggakan. Dulu, sekarang dan insyaALLAH sampai nanti. Rumah ? Iya betul. Tempat tinggal kami. Kami ? Iya, karena kami sebenarnya banyak. Bahkan sangat banyak. Bukan karena ibu kami yang banyak atau ibu kami yang mudah hamil. Itu lah uniknya rumah kami. Kami banyak,namun beragam. Beragam namun sama. Sama namun tidak identik. Tidak identik namun punya kemiripan. Terus apa ???
Jangan Buru-Buru Menyimpulkan saudaraku !
Di rumah ini awal cerita romantis itu bermula. Ketika kami sama-sama ber-'azzam untuk menegakkan syari'at di seluruh sendi kehidupan. Dari detik ke detik dan di seluruh koordinat dalam semesta ini.
Di sini, kami meneriakkan pentingnya ukhuwah namun bukan kuning. Melantangkan teriakan imamah namun bukan hijau. Menggemakan khilafah namun bukan black and white. Memurnikan tauhid, namun tidak putih. Kami sadar, kami orang islam. Apa pun warna itu, dibiarkan menempati rumah ini. Warna-warna itu membentuk pelangi pemikiran hingga menjadi suatu konsep yang ideal. Hasan Al-Banna pun berkata “ mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok”. Mimpi kita tentang sebuah pelangi.
Syaikh Taqi “ kebangkitan bermula dari pemikiran”. Rumah kami pun penuh dengan penalaran ilmiah dan syar'i. Menganalisis politik, hukum dan ekonomi bukan lah hal yang tabu, walau kami menguasai anatomi,fisiologi, psikologi dasar, kimia, statistika dasar, dan ISBD. Kami pun sudah terbiasa dengan kitab-kitab tafsir, Ibnu Katsir, Sayyid Qutb, Hamka dan lain-lain. Yah, itu menjadi makanan ringan. Menjadi cemilan yang diutamakan.
Di tengah keilmiahan itu kami sadar. Prof.John Hick dengan bukunya “ God Has Many Names”, melalui konsep Transcedent unity of religion yang mengatakan semua agama itu benar karena tuhan yang disembah sebenarnya hanya satu.,tapi dengan perwujudan yang berbeda-beda. Kami sadar konsep itu terlalu irrasional bagi kami. Terlalu lucu kalau memang semua agama itu benar, mengapa pada tempat yang sama (bumi) dan waktu yang sama ( sekarang) ada yang menghalalkan dan mengharamkan babi ?. Konsep fisika mekanika klasik pun bicara sebelum kami menjawab. Suatu substansi tidak mungkin berada pada suatu titik yang sama pada fungsi waktu yang sama apalagi pada rentang waktu yang sama. Begitu pula irrasionalnya buku “ When Religion Become Evil”
Di sini kami belajar menjadi dewasa. Berusaha mendifinisikan arti “memaklumi”. Membiarkan atau menegur, mengingatkan atau menoleransi dan kembali mengartikan makna optimis. Antara sebuah keoptimisan dan kesombongan. Ketika rasa itu sama-sama menjadi bahan bakar pergerakan. Mencoba kembali mendefinisikan sebuah kesabaran, apakah itu ke-rendah hati-an atau akumulasi sifat pengecut yang dibalut alasan logis.
Jangan buru-buru menyimpulkan saudaraku?
Di sini kami mengakui sebagai penghuni rumah ini. Walau buku “ Body Language” sempat mewarnai alur berpikir saya, saya mesti menolak konsep-konsep buku itu ketika saudara saya “menjawab” dengan gaya bahasa tubuh yang diartikan sebagai tindakan “ngeles”. Husnu dzon saja !. Biarkan air mengalir dan biarkan angin berhembus. Menjawab dengan senyum, ketika jawaban iya diiringi pelototan mata. Ketika ucapan terima kasih dibalut dengan senyum terbalik. Afwan ana lagi sibuk. Afwan ana besok ujian. Afwan ana ada kerjaan. Dan sejuta alasan lagi. Ehm,Maaf mungkin ini kesalahan dan keteledoran saya. Mungkin hati saya yang bermasalah, mungkin iman saya yang lagi sakit. Mungkin kalimat ini yang menginspirasi Salim A.Fillah dalam “Dalam Dekap Ukhuwah”.
Kami sadar akan perjuangan ini. Karl Marx boleh bilang kalau agama adalah candu. Candu yang membuat orang menjadi nyaman dalam ilusi. Tapi itu bagi Karl Marx yang tidak pernah mencicipi manisnya keimanan islam. Tapi bagi kami, islam betul-betul manis. Sangat Manis, yang membuat kami mabuk dalam keadaan sadar. Membuat kami berlari di tengah keletihan. Membuat kami kuat di tengah musibah dan cobaan yang menusuk. Syurga ! Itu menjadi tempat yang kami impikan. Karena niatan itu ,kami dengan penuh kesadaran memilih rumah ini. Iya, rumah ini saudaraku!
Saya tidak tahu dengan rumah-rumah yang lain. Dengan dua warna itu, apakah menjanjikan syurga. Dengan gambaran itu, apakah menjanjikan pahala. Tapi hebatnya, rumah-rumah itu penuh dengan orang-orang. Tentunya dengan orang-orang yang hebat juga. Mereka juga berteriak lantang. Mereka juga bergerak. Namun sayang.... di tengah keletihan itu. Di tengah pengorbanan mereka. Di tengah kebaikan itu. Apakah sudah di jalur yang benar ?
Tiba-tiba penghuni rumah itu,tetangga saya, berteriak “ jangan melihat dari kaca matamu saja !”. kadang saya termenung dengan kalimat itu. Melihat dari sudut pandang orang lain, mungkin itu yang perlu kami kaji sekarang. Supaya akhirnya kami bisa mendandani pemikiran dan memperindah pakaian ide. Agar coklat manis yaang ingin kami berikan ini dikado dengan rapi dan indah. Buku “ How To Get Friends and Influence People” karyanya Dale Carniege pun sempat membantu saya untuk memahami itu. Bahkan buku “Personality Plus” sempat terkaji,walau tidak totalitas. Tapi kadang beban pikiran yang lain muncul. Apakah ini bentuk kesabaran dalam menyampaikan, seni dalam sebuah proses atau kurangnya rasa bangga terhadap nilai-nilai islam yang sebenarnya. Sangat dilematis. Antara berharap menunggu waktu yang tepat dan berusaha mengondisikan.
Jangan terburu-buru menyimpulkan saudaraku !
Logika di atas memang tidak serumit konsep-konsep pada buku yang berjudul “Logika”, tulisan Hegel. Katanya, untuk betul-betul memahami sesuatu kita harus memahami lawan dari sesuatu itu. Materi,ya anti materi. Positron, ya elektron. Walau anti-materi tersebut masih menjadi teka-teki sampai sekarang. Konsep abstrak yang “dipaksakan” untuk diturunkan menjadi persamaan-persamaan matematika tingkat tinggi. Ya, seperti konsep adanya “eter” agar konsep-konsep penjalaran di udara sebelumnya diakui. Atau seperti “dipaksanya” kebenaran pada konsep dilatas waktu, agar relativitas Einstien tak terbantahkan. Mana mungkin ada manusia mencapai kecepatan c ? pasti jasadnya sudah hancur ? Ya,sudah lah. Namanya juga postulat. Kebenaran yang diterima ketika tidak ada yang bisa membantahnya, walaupun kebenaran itu tidak terbukti empirik.
Maaf jika dirasa bahasan ini mulai membuat anda pusing. Jujur, saya sudah menyederhanakannya.
Iya, melihat dengan kaca mata orang lain ! Itu konsep baru yang menarik, namun menyimpan tanda tanya besar juga. Ketika kita melihat dengan kaca mata orang, tentunya kita sudah keluar dari konsep berpikir kita. Tentunya konsep yang syar'i. Dan mungkin kita sudah membuat konsep berpikir yang baru. Kalau mendifinisikan objektif itu harus melihat bukan dari sudut pandang kita. Itu kadang membuat syahadat kita dipertanyakan lagi. Apa kita harus meninggalkan cara berpikir islami untuk dikatakan objektif ?
Dan ternyata. Saat mata anda min, minjam kaca mata orang lain bukan lah solusi. Apalagi melepas sama sekali kaca mata anda.
Kalau mau melihat dari sudut pandang kapitalis. Maka kita tinggal memahami “Wealth of Nation”nya Adam Smith, kadang itu bisa menjadi batu loncatan awal. Untuk meyakinkan silahkan pelajari “ The End of History” tulisan Francis F. saya pernah melakukannya, di otak saya “ jadikan lah apa-apa yang dilihat menjadi uang”. Di kamar saya bertulis kan “ time is money”. Alhamdulillah, itu dulu.
Kaca mata yang lain. Silahkan pahami “ Das Capital”, karya Karl Marx. Cukup nyetrum di otak. Apalagi bantahannya terhadap aristotelian sangat rasional. Kalau memang betul A sama dengan A, maka terlalu simple hidup ini. Dan itu hanya membuat pola pikir menjadi linier. Satu kilo gula tidak sama dengan satu kilo gula. Kaarena waarna, struktur, jenis dan kualitas yang membedakan. Untuk lebih hot, “ The ABC of Dielecthis Matrealism” pemikran Trotsky bisa jadi bumbunya. Saat kita benar-benar menabrakan antara logika formal dan logika dialektika. Jujur, paham kapitalis di atas bakalan hancur lebur.
Lalu pahami keduanya,antara kapital dan matrelis, lewat “ The Clash of Civilization” Huntington. Maka kita akan mendapati solusi baru. Yang sebenarnya pernah ada dulu. Dan puzzle itu kita susun kembali. Lewat rumah ini, rumah kita !
Jangan terburu-buru menyimpulkan saudaraku!
Di rumah ini. Kami berharap semua potensi tersalurkan. Yang tua menjadi teladan bagi yang muda. Yang muda menghormati yang tua. Ikatan kita, ikatan aqidah. Ikatan yang menjadi jaminan keharmonisan. Ikatan yang membuat kita lebih kuat dibanding dengan rumah-rumah yang lain.
Di sini kita belajar menghargai waktu. Berkorban untuk datang tepat waktu.
Belajar bersabar, ketika kaki terinjak duri.
Memahami agar dipahami.
Mencintai agar dicintai.
Walau ikhlas adalah yang utama.
Tak terasa. Barisan kita semakin kuat saja. Penghuni semakin banyak dengan lahirnya adik-adik yang baru. Adik-adik yang spesial. Punya kelebihan. Punya kekuatan. Punya potensi. Namun, mengapa masih ada saja penghuni yang mencari rumah lain. Bahkan rela mencari hotel-hotel.
Bayti Jannati ? Rumahku syurgaku?
Apakah sudah menjadi rumah yang nyaman ?
Atau memang penghuni itu yang memilih pergi ?
Tiba-tiba penghuni lain menepuk pundakku,” berani-beraninya kamu ngomong. Emang kamu siapa ?”
saya penghuni rumah ini. Ya memang saya masih anak kecil. Posisi saya pun tidak tinggi walau punya jabatan yang cukup strategis. Posisi dan jabatan ?, memang berbeda kok.
Saya teringat ucapan 'Ali bin Abi Thalib “ liat ucapan,bukan pengucap”. Maka saya tutup note ini dengan sebuah kutipan kalimat Bambang Pamungkas.
“ketika saya ada di lapangan, saya akan memberikan yang tebaik untuk tim ini. Dan ketika saya ada di bangku cadangan, maka saya pun akan memberikan yang terbaik”


*suatu malam. Ketika aku harus mengakui bahwa aku pengecut. Menutupi ketakutan dengan senyum. Menutupi kelemahan dengan retorika. Memahami dan Menghargai orang-orang di sekitarku, mereka memang hebat ! Dan aku pun akan menjadi hebat, karena Dia bersamaku. Selalu, insyaALLAH.

Tidak ada komentar: