Kehidupan berpolitik merupakan sistem kehidupanyang paling dinamis yang pernah ada. Akselarasi perubahannya melebihi dari aspek teknologi, apalagi pertanian. Dari waktu ke waktu pun, semakin sangat nyata kaidah demokrasi hanya suatu konsep yang dipaksakan redaksinya. Hal itu dibuktikan dengan paradoksnya idealitas dan realitas yang ada dalam konsep tersebut.
Demokrasi yang berasal dari kata demos dan cratos ini, mencerminkan adanya kekuataan yang dominan berada di tangan rakyat. Kita kembali ke sejarah, bagaimana Abraham Lincoln mengatakan kalau demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kalau dipikirkan, konsep itu begitu bijaksana dan “diprediksi” akan dapat mensejahterakan rakyat.
Karena rakyat merupakan pemegang kunci dari kaidah ini, maka diadakanlah pemilu sebagai salah satu media untuk menyalurkan aspirasi yang ada pada rakyat. Sehingga semakin nyata bahwa yang memagang kendali adalah rakyat secara umum. Tak peduli apakah latar belakangnya mengerti masalah pemerintahan dan politik, atau hanya rakyat yang materialis.
Dalam logika penulis yang masih kurang ilmu ini. Kalau demokrasi seperti itu, bagaimana nasib suatu negara yang didominasi oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Yang lebih parah lagi, bagaimana seandainya kalau kemenangan para materialis tadi hanya beda tipis dengan orang-orang yang mempunyai mental berkepemimpinan dan mengerti arti sebuah pemerintahan. Rumitkan ?
Itu Cuma masalah kecil saja. Akhir-akhir ini, malahan demokrasi semakin memperumit prosedurnya dan mengaburkan substansi yang telah ada, sependapat dengan Moch Nuhasim ,S.IP, M.Si seorang peneliti tentang perpolitikan dari LIPI Jakarta. Sehingga para pemimpin yang mengaku demokratis sebenarnya hanya memimpin dengan konsep insidental tanpa adanya landasan yang jelas.
Sehingga kita sebagai generasi muda, sudah saat berpikir untuk mensintesis konsep pemerintahan yang terbukti keunggulannya. Apalah makna vox populi vox dei ( suara rakyat adalah suara tuhan) kalau hanya akan melahirkan masalah baru yang sangat kompleks dan ambigu.
Sebagai solusi, kita juga patut memikirkan konsep yang diajukan oleh suatu organisasi da’wah HTI yang meneriakan konsep khilafah sebagai obat penyembuh atas luka-luka yang ditinggalkan demokrasi. Namun, yang terpenting menurut penulis bukan hanya khilafahnya yang berdiri. Tetapi harus ada langkah untuk menyiapkan rakyatnya untuk menggunakan sistem khilafah. Sistem ini sudah terbukti efektif pada masa yang lalu dan tentu tidak perlu mencari kelinci percobaan dalam penemuan konsep pemerintahan yang baru. Sehingga nantinya konsep khilafah ini dapat dialankan secara efektif dan totalitas. Seberapa sempurnanya suatu konsep, kalau tidak dijalankan secara totalitas hasilnya juga akan nihil.
Solusi yang lainnya. Kalau penegakkan khilafah itu memerlukan waktu dan persiapan yang lama. Sebagai alternatif, penulis rasa aktualisasi dan kristalisasi nilai-nilai islamiyah dalam kehidupan berpolotik dan goverment adalah kuncinya. Karena dalah syari’at islam, terjadi keseimbangan antara hal apa saja yang boleh ditentukan oleh rakyatnya menggunkan logika dan ada juga ketetapan yang sudah ditentukan oleh ALLah azza wa jalla. sehingga nantinya akan tercipta sistem perpolitikan dan pemerintahan yang berkesejahteraan. Kalau boleh memberi istilah, inilah yang disebut demokrasi yang ideal. Demokrasi islamiyyah.
Mengapa yang ideal? Karena di sini terjadi sinergisitas yang luar biasa antara kita sebagai zoon politicon dan zoon religion. Dari sinergisitas itu, nantinya akan muncul semangat mencapai pemerintahan ideal. Karena telah tertanam semangat kalau berkepemerintahan juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Inilah sebenarnya konsep pemerintahan yang bisa disebut ideal. Bukan sekuler. Penulis pun yakin, sekularitas begitu berkembang di eropa khususnya prancis disebabkan agama di sana yang irasional dan tidak universal, serta terlalu kolot. Seandainya mereka mengenal islam ( maaf pengandaian itu sebenarnya tidak baik, tapi sekarang karena untuk kebaikan) penulis yakin mereka tidak akan pernah kenal dengan istilah sekuler.