Tak ada alasan yang terlalu jelas untuk tulisan kali ini. Hanya kegiatan berpikir dan terpana,yang tentunya terilhami ,atau mungkin, istilah terpaksa memaknai menjadi diksi yang tepat. Melihat bangsa yang besar ini,-meminjam kategori ibnu khaldun dalam bukunya al-muqaddimah-,dan saya menyimpulkan Indonesia punya potensi untuk menjadi sebuah peradaban besar. Ya,melihat bangsa yang besar ini sedang dalam persimpangan sejarah ynag penuh “kegalauan”. Antara perselisihan konsepsi ideal sampai urusan terkecil seperti e-KTP yang tak kunjung bisa terselesaikan dengan objektif.
Tak ada alasan yang jelas. Hingga negeri kaya seperti Indonesia ini masih berada dalam kukungan kemiskinan, pendidikan yang tak bertanggung jawab, kesehatan yang tergadaikan,kebebasan berbicara yang sudah mulai digembok lagi sampai proses hukum yang sesuai orderan.
Ya. Tak ada alasan yang jelas.
Mungkin, sebaiknya kita bicara dan bertindak ensiklopedis. Merubah sesuatu dengan focus,tanpa menapikan focus tersebut sebagai sesuatu system. Merubah satu variable, tanpa menapikan bahwa perlu juga perubahan variable yang lain. Mungkin ini yang mengapa perlu menggunakan diksi “syamil-kamil-mutakkamil” Dan di sisi lain menggunakan islam kaaffah. Mungkin ini Cuma aksentuasi.
Takdir kemelaratan Indonesia ini tak hanya perlu untuk kita tangisi. Ya,masih dalam tataran perlu. Agar kita sadar tentang fakta,kita sadar tentang realita yang sekarang sedang menari-nari di depan mata kita. Walaupun tarian-tarian itu kadang kita abaikan dan lupakan,karena egoisme kita. Karena kecilnya mental dan sempitnya taraf berpikir kita. Kita tidak bisa memberi solusi saat Indonesia berada dalam persimpangan sejarah,kadang bukan karena ada hal yang lebih besar,tapi kadang potensi kita sudah teruapkan (dan akhirnya hilang) oleh masalah-masalah kecil. Ya,masalah-masalah kecil yang selalu saja membuat kita ternina bobo. Tentang shalat pakai qunut atau tidak,tentang cinta dan tentang hal-hal sepele yang pada dasarnya tidak perlu menguras energy kita.
Ya. Kita melihat realita begitu hancur,memuakkan,menjengkelkan dan begitu menjijikan. Informasi tentang korupsi sudah jadi makanan sehari-hari. Tindakan amoral sudah memasyarakat. Aliran dana siluman,ya, itu kita sudah overdosis semua. Belum lagi ulah para “tokoh” yang membuat kita tertawa dan terpingkal-pingkal menyaksikan kebobrokan bangsa kita.
Namun, kita sebagai civitas akademika sudah waktunya untuk turun dan beraksi. Tak sekedar menjadi komentator yang siap menyalahkan. Mencari kesalahan dan menyiapkan kambing hitam. Bukan itu maksud kapasitas keilmuan kita. Tugas kita adalah bekerja. Bekerja untuk memperbaiki,dan kalau memang tidak bisa diperbaiki. Kita ganti. Mengganti dengan metodologi dan sistematika yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ada sebuah logika yang selalu menarik untuk diolah ulang. Yakni logika pembersihan. Kita sudah tahu,ya walau ini tidak bisa menjadi generalisasi,bahwa system kita korup,nepotism dan kolusi. Kita bilang itu kotor. Lalu kita lihat struktur social masyarakat Indonesia, dominan oleh kriminalitas,amoral activity,kebodohan sampai kemiskinan, kita juga bilang itu kotor. Ada dua sisi ekstrim yang menyimpan kekotoran masing-masing. Lalu lahir lah civitas akademika dari rahim universitas masing-masing,dengan ide-ide idealis,namun tidak berdaya. Bisa berteriak,namun minim aksi. Mereka ini lah yang berada di struktur menengah dalam kelas social masyarakat Indonesia. Lalu di mana logika pembersihannya?
Civitas akademika itu terlahir idealis,itu wajar karena dipoles dan ditempa berdasarkan ide-ide ideal tanpa bersentuhan dengan lapangan. Kalau saat jadi civitas akademika saja tidak idealis, bagaimana sikap dia saat di medan kerja? Mungkin ini para penjilat yang intelek atau pragmatis yang berpendidikan.
Tugas terbesarnya adalah, merealisasikan ide-ide ideal tadi ke realita. Sedikit menarik dan perlahan-lahan menyeret kareta api yang ada dalam rel realistis ke rel yang ideal. lalu ada yang nyeletuk, “ideal dari standar siapa? Ya,dari standar yang MahaIdeal. Oleh karena itu, kita perlu pembangunan yang berlandaskan nilai-nilai yang sudah digariskan oleh Yang MahaIdeal. Clear ya?”
Seperti tadi, struktur kelas atas kita kotor, termasuk kelas bahwah pun sama kotornya. Civitas akademika ada di tengah,yang mampu mengakses dua kelas yang ada,yang kotor tadi. Terjun langsung ? boleh juga, namun pastinya dalam proses membersihkan tadi pasti ada sedikit kotoran atau debu yang menempel atau tak sengaja juga mengotori yang membersihkan. Ya,mungkin itu lah sebuah konsekuensi perjuagan.
Tapi, di sini lah peranan teknologi. Kita tahu ada sarung tangan,sapu, apron, pelindung kepala bahkan masker. Mungkin perangkat ini adalah representasi dari ‘ilmu. Nantinya, ‘ilmu menghasilkan pemikiran, pemikiran akan menghasilkan tindakan da teknologi. Yang keduanya sama-sama menunjang sebuah perubahan. Karena letak kekuatan perubahan tidak hanya di ide,namun juga terletak di tindakan dan teknologi.
Dalam sejarah peradaban,kita kenal hegemoni USA sekarang,namun beberapa decade sebelumya,kita tadi USA sebagai seorang pesakitan. Terlahir dari bangsa yang penduduknya buangan dan mendapati konflik hebat dalam prosesnya menuju bangsa. Kita tahu dia juga terlibat langsung dalam perang dunia ke-2,setelah itu tidak tanggung-tanggung, dia dihantam lagi oleh yang namanya depresi ekonomi. Tentunya dua momentum besar ini tak hanya memukuli USA,tapi juga menelanjangi kepercayaan dirinya sebagai sebuah bangsa besar.
Namun dibalik semua itu, ada seorang F.D Roosevelt, president USA yang memimpin kala itu. Saat di mana USA dalam persimpangan sejarah, mau merengkuh takdir sebagai bangsa pemenang dan memimpin peradaban, atau manjadi pesakita tanpa inovasi dan akhirnya mati ditimbun oleh tumbukan waktu. Namun, dengan kepemimpinan F.D Roosevelt dan konsepsi bernegara yang jelas dan besar, USA merengkuh takdirnya yang pertama. Menang dan akhirnya memimpin peradaban,ya, sampai sekarang. Dengan enteng F.D Roosevelt berkata, di saat bangsa dalam keterpurukan dan dihadang oleh masalah yang besar, maka satu-satunya yang bisa menggerakannya adalah “harapan”. Ya, tepat sekali, harapan !
Saya sengaja mengambil contoh pada USA, agar kita sadar ada hikmah yang bisa kita ambil,walau pun itu dari bangsa penjajah. Ini mendasari sebuah kaedah, focus pada apa yang disampaikan,lalu pertimbangkan siapa yang menyampaikan.
Bangsa kita,Indonesia, memang sedang berada dalam persimpangan sejarah yang sangat komplek. Keputusan pun berubah-ubah,kadang kita mendefinikan sebagai pragmatism,namun siapa tahu mereka sedang mencari jalan yang terbaik.
Ketahuilah, kita perlu pahlawan. Pahlawan yang menyadari bahwa “ harapan itu masih ada!” .Yang merengkuh takdir kepahlawananya dan bertindak dengan nalar kepahlawanan. Menjadikan Indonesia bangsa yang kuat,tentunya dengan nilai-nilai yang sudah digariskan oleh MahaIdeal. Lalu dengan bangsa yang kuat,kita akan membentuk peradaban yang kuat. Kita tidak hanya membentuk, namun kita lah yang memimpin peradaban itu
Saudara semua, saya ingin kalian tahu siapa pahlawan itu, yang akan menjadi arsitek peradaban, yang akan menciptakan peradaban robbaniyah dan dia yang akan memimpin peradaban tadi. Pahlawan itu sadar kalau dia masih punya harapan. Harapan besar tentang bangkitnya sebuah peradaban.
Ketahuilah, pahlawan itu adalah saya,kamu dan dia. Ya, pahlawan itu kita semua. Tinggal keputusan kita, merengkuh takdir kepahlawanan kita dan bergerak. Atau, membiarkan ada pahlawan lain selain kita. Yang ingin saya sampaikan,saya tidak rela kalau hanya menjadi actor penghibur dalam sejarah ini, apalagi kalau sampai menjadi korban sejarah.
Saya tunggu kabar kepahlawananmu,sobat
Di sana, saya melihat dengan jelas kemilau peradaban yang ditunggu-tunggu. Ya, betul sekali, ini lah peradaban islam…
Rabu, 26 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)